Sabtu, 31 Juli 2010

EMULSI , SHAMPO , LOTION , CLENSING CREAM

A.Emulsi

Emulsi adalah sediaan yang mengandung bahan obat cair atau larutan obat yang terdispersi dalam cairan pembawa dan distabilkan oleh zat pengemulsinya atau surfaktan yang cocok ( Farmakope Indonesia Ed.III )

Emulsi merupakan sediaan yang mengandung dua zat yang tidak dapat bercampur, biasanya terdiri dari minyak dan air, dimana cairan yang satu terdispersi menjadi butir-butir kecil dalam cairan yang lain. Dispersi ini tidak stabil, butir – butir ini bergabung ( koalesen ) dan membentuk dua lapisan yaitu air dan minyak yang terpisah yang dibantu oleh zat pengemulsi ( emulgator ) yang merupakan komponen yang paling penting untuk memperoleh emulsa yang stabil .

Semua emulgator bekerja dengan membentuk film ( lapisan ) di sekeliling butir – butir tetesan yang terdispersi dan film ini berfungsi agar mencegah terjadinya koalesen dan terpisahnya cairan dispersi sebagai zat pemisah. Terbentuk dua macam tipe emulsi yaitu tipe M/A dimana tetes minyak terdispersi dalam fase air dan tipe A/M dimana fase intern adalah air dan fase ekstern adalah minyak .

Zat-zat pengemulsi ( Emugator ) yang biasa digunakan adalah PGA, PGS, Gelatin, Tragacantha, Sapo, ammonium kwartener, senyawa kolestrol, Surfaktan seperti Tween dan Span, kuning telur atau merah telur, CMC, TEA, Sabun, dll.



Teori Emulsifikasi

Ada 3 teori tentang pembentukan emulsi , yaitu :

1.Teori Tegangan Permukaan

Teori ini menjelaskan bahwa emulsi terjadi bila ditambahkan suatu substansi yang menurunkan tegangan antar muka diantara 2 cairan yang tidak bercampur .

2.Teori Orientasi Bentuk Baji

Teori ini menjelaskan fenomena terbentuknya emulsi dengan dasar adanya kelarutan selektif dari bagian molekul emulgator, ada bagian yang bersifat suka terhadap air atau mudah larut dalam air ( hidrofil ) dan ada bagian yang suka dengan minyak atau larut dalam minyak ( Lifofil ) .

3.Teori Film Plastik

Teori ini menjelaskan bahwa emulgator ini mengendap pada permukan masing-masing butir tetesan fase dispersi dalam bentuk film yang plastis.

( Farmasetika, 180 )

Surfaktan dapat membantu pembentukan emulsi dengan mengabsorpsi antar muka, dengan menurunkan tegangan iterfasial dan bekerja sebagai pelindung agar butir-butir tetesan tidak bersatu. Emulgator membantu terbentuknya emulsi dengan 3 jalan, yaitu :
1.Penurunan tegangan antar muka ( stabilisasi termodinamika ).
2.terbentuknya film antar muka yang kaku ( pelindung mekanik terhadap koalesen ).
3.Terbentuknya lapisan ganda listrik, merupakan pelindung listrik dari pertikel.

Penggunaan Emulsi

Penggunaan Emulsi dibagi menjadi 2 golongan yaitu emulsi untuk pemakaian dalam dan emulsi untuk pemakaian luar. Emulsi untuk pemakaian dalam meliputi peroral atau injeksi intravena sedangkan untuk pemakaian luar digunakan pada kulit atau membran mukosa yaitu liniment, lotion, krim dan salep. Emulsi utuk penggunaan oral biasanya mempuyai tipe M/A. Emulgator merupakan film penutup dari minyak obat agar menutupi rasa obat yang tidak enak. Emulsi juga berfaedah untuk menaikkan absorpsi lemak melalui dinding usus. Emulsi parental banyak digunakan pada makanan dan minyak obat untuk hewan dan juga manusia.

Emulsi yang dipakai pada kulit sebagai obat luar bisa dibuat sebagai emulsi M/A atau A/M, tergantung pada berbagai faktor seperti sifat zat terapeutik yang akan dimasukkan ke dalam emulsi, keinginan untuk mendapatkan efek emolient atau pelembut jaringan dari preparat tersebut dan dengan keadaan permukaan kulit. Zat obat yang mengiritasi kulit umumnya kurang mengiritasi jika ada dalam fase luar yang mengalami kontak langsung dengan kulit.

( Ansel, 377 )

Pembuatan Emulsi

Dalam membuat emulsi dapat dilakukan dengan 3 metode , yaitu :
1.Metode Gom Basah ( Metode Inggris )

Yaitu dengan membuat mucilago yang kental dengn sedikit air lalu ditambahkan minyak sedikit demi sedikit dengan diaduk cepat. Bila emulsi terlalu kental, ditambahkan air sedikit demi sedikit agar mudah diaduk dan diaduk lagi ditambah sisa minyak. Bila semua minyak sudah masuk ditambahkan air sambil diaduk sampai volume yang dikehendaki. Cara ini digunakan terutama bila emulgator yang akan dipakai berupa cairan atau harus dilarutkan dulu dengan air.

2.Metode Gom Kering

Metode ini juga disebut metode 4:2:1 ( 4 bagian minyak, 2 bagian air dan 1 bagian gom ), Selanjutnya sisa air dan bahan lain ditambahkan. Caranya ialah 4 bagian minyak dan 1 bagian gom diaduk dan dicampur dalam mortir yang kering dan bersih sampai tercampur benar, lalu ditambahkan 2 bagian air sampai terjadi corpus emulsi. Tambahkan sirup dan tambahkan sisa air sedikit demi sedikit, bila ada cairan alkohol hendaklah ditambahkan setelah diencerkan sebab alkohol dapat merusak emulsi .

3.Metode HLB

Dalam hal ini berhubungan dengan sifat-sifat molekul surfaktan mengenal sifat relatif dari keseimbangan HLB ( Hydrophiel-Lyphopiel Balance ). ( Farmasetika , 186-187 )

Ketidakstabilan emulsi dapat digolongkan sebagai berikut , yaitu :

1.Flokulasi dan Creaming

Merupakan pemisahan dari emulsi menjadi beberapa lapis cairan, dimana masing-masing lapis mengandung fase dispersi yang berbeda.

2.Koalesen dan pecahnya emulsi ( Craking atau breaking )

Pecahnya emulsi yang bersifat tidak dapat kembali. Penggojokkan sederhana akan gagal untuk mengemulsi kembali butir-butir tetesan dalam bentuk emulsi yang stabil.

3.Inversi adalah peristiwa berubahnya tipe emulsi M/A ke tipa A/M atau sebaliknya .

( IMO , 148 )

A.Shampoo

Shampoo adalah sabun cair yang digunakan untuk mencuci rambut dan kulit kepala yang terbuat dari campuran bahan – bahan alami ( tumbuhan ) atau zat-zat kimia. Pengertian lain dari sampo yaitu sediaan yang mengandung surfaktan dalam bentuk yang cocok berguna untuk menghilangkan kotoran dan lemak yang melekat pada rambut dan kulit kepala tidak membahayakan rambut, kulit kepala, dan kesehatan Si pemakai.

Semula sampo dibuat dari berbagai jenis bahan yang diperoleh dari sumber alam, seperti sari biji rerak, sari daging kelapa, dan sari abu merang (sekam padi).

Sampo yang menggunakan bahan alam sudah banyak ditinggalkan, dan diganti dengan sampo yang dibuat dari detergen, yakni “zat sabun” sintetik, sehingga saat ini jika orang berbicara mengenai sampo yang dimaksud adalah sampo yang dibuat dari detergen. Dan untuk sampo yang dibuat dari bahan lain, biasanya diberikan penjelasan seperlunya, misalnya sampo merang.

Agar sampo berfungsi sebagaimana disebutkan di atas, sampo harus memiliki sifat berikut :

1.Sampo harus membentuk busa yang berlebih, yang terbentuk dengan cepat, lembut dan mudah dihilangkan dengan membilas dengan air.

2.Sampo harus mempunyai sifat detergensi yang baik tetapi tidak berlebihan, karena jika tidak kulit kepala menjadi kering.

3.Sampo harus dapat menghilangkan segala kotoran pada rambut, tetapi dapat mengganti lemak natural yang ikut tercuci dengan zat lipid yang ada di dalam komposisi sampo.

Kotoran rambut yang dimaksud tentunya sangat kompleks yaitu : sekret dari kulit, sel kulit yang rusak, kotoran yang disebabkan oleh lingkungan dan sisa sediaan kosmetika.

4.Tidak mengiritasi kulit kepala dan mata.

5.Sampo harus tetap stabil. Sampo yang dibuat transparan tidak boleh menjadi keruh dalam penyimpanan. Viskosita dan pH-nya juga harus tetap konstan, sampo harus tidak terpengaruh oleh wadahnya ataupun jasadrenik dan dapat mempertahankan bau parfum yang ditambahkan ke dalamnya.

Detergen yang digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan sampo memiliki sifat fisikokimia tersendiri yang umumnya tidak sepenuhnya searah dengan ciri sifat yang dikehendaki untuk sampo. Umumnya, detergen dapat melarutkan lemak dan daya pembersih kuat, sehingga jika digunakan untuk keramas rambut, lemak rambut dapat hilang, rambut menjadi kering, kusam, dan mudah menjadi kusut, menyebabkan sukar diatur.

Sifat detergen yang terutama dikehendaki untuk sampo adalah kemampuan membangkitkan busa. Jenis detergen yang paling lazim diedarkan tergolong alkil sulfat, terutama laurilsulfat, juga alkohol monohidrat dengan rantai C 10 – 18.

Di samping itu detergen yang digunakan untuk pembuatan sampo, harus memiliki sifat berikut :

1. harus bebas reaksi iritasi dan toksik, terutama pada kulit dan mata atau mukosa tertentu.
2. Tidak boleh memberikan bau tidak enak, atau bau yang tidak mungkin ditutupi dengan baik.
3. Warnanya tidak boleh menyolok.

Zat tambahan sampo

Zat tambahan sampo terdiri dari berbagai jenis zat, yang dikelompokkan sesuai dengan kesamaan fungsi yang diharapkan dalam formulasi sampo.

Alkilbromida asam lemak

Digunakan untuk meningkatkan stabilitas busa dan memperbaiki viskosita. Zat ini merupakan hasil kondensasi asam lemak dengan monoetanolamina (MEA), dietanolamina (DEA), atau isopropanolamina yang sesuai. Zat ini juga menunjukkan sifat dengan mendispersi kerak sabun kalisium atau magnesium, dan mencegah pengerakan kedua jenis sabun itu pada kulit kepala dan rambut.



Lemak bulu domba, lanolin atau salah satu derivatnya, kolesterol, oleilalkohol, dan asetogliserida

Digunakan untuk makud memperbaiki efek kondesioner detergen dasar sampo yang digunakan, sehingga rambut yang dikeramas-sampokan akan mudah diatur dan memberikan penampilan rambut yang serasi.

Lanolin atau serbuk telur acapkali digunakan sebagai zat tambahan sampo dan dinyatakan khusus untuk maksud memberikan rambut berkilau dan mudah diatur.

Asam amino

Terutama asam amino esensial digunakan sebagai zat tambahan sampo dengan harapan, setelah rambut dikeramas-sampokan, zat ini akan tetap tertinggal pada kulit kepala dan rambut, dan berfungsi sebagai pelembab, karena asam amino memiliki sifat higroskopik yang akan memperbaiki kelembaban rambut.

Zat tambahan sampo lain

Terdiri dari berbagai jenis zat, umumya diharapkan untuk menimbulkan efek terhadap pembentukan dan stabilisasi busa; meliputi zat golongan glikol, polivinilpirolidon, karboksimetilselulosa, dan silikon cair, terutama yang kadarnya lebih kurang 4%.

Penyajian

Sampo disajikan dalam bebagai bentuk, meliputi bubuk, emulsi, krim atau pasta, dan larutan. Selain itu jga dapat disajikan dalam :

1. Sampo bubuk

Sebagai dasar sampo digunakan sabun bubuk, sedangkan sebagai zat pengencer biasanya digunakan natrium karbonat, natrium bikarbonat, natrium seskuikarbonat, dinatrium fosfat atau boraks. Sampo jenis ini dapat dikombinasikan dengan zat warna alam hena atau kamomil, sehingga dapat memberikan sedikit efek pewarnaan pada rambut.

Agar dalam air sadah dapat berbusa, biasanya bubuk sabun diganti dengan natrium laurilsulfat.

1. Sampo emulsi

Sampo ini mudah dituang, karena konsistensinya tidak begitu kental. Tergantung dari jenis zat tambahan yang digunakan, sampo ini diedarkan dengan berbagai nama seperti sampo lanolin, sampo telur, sampo protein, sampo brendi, sampo susu, sampo lemon atau bahkan sampo strawberry.

1. Sampo krim atau pasta

Sebagai bahan dasar digunakan natrium alkilsulfat dari jenis alkohol rantai sedang yang dapat memberikan konsistensi kental. Untuk membuat sampo pasta dapat digunakan malam seperti setilalkohol sebagi pengental. Dan sebagai pemantap busa dapat digunakan dietanolamida minyak kelapa atau isopropanolamida laurat.

1. Sampo larutan

Merupakan larutan jernih. Faktor yang harus diperhatikan dalam formulasi sampo ini meliputi, viskosita, warna, keharuman, pembentukan dan stabilitas busa dan pengawetan.

Zat pengawet yang lazim digunakan meliputi, 0,2% larutan formaldehida 40%, garam fenilraksa; kedua zat ini sangat beracun, sehingga perlu memperhatikan batas kadar yang ditetapkan pemerintah.

Parfum yang digunakan berkisar antara 0,3%-1,0%, tetapi umumnya berkadar 0,5%.

Cara pembuatan

1. Sampo krim atau pasta

Detergen dipanaskan dengan air pada suhu pada lebih kurang 800 dalam panci dinding rangkap, sambil terus diaduk. Tambahkan zat malam, terus diaduk lebih kurang 15 menit. Biarkan campuran ini pada suhu lebih kurang 40-500C. Tambahkan parfum, aduk terus hingga homogen; lanjutkan pengadukan untuk menghilangkan udara. Wadahkan selagi panas.

1. Sampo larutan

Jika digunakan alkilolamida, mula-mula zat ini dilarutkan dalam setengah bagian detergen yang digunakan dengan pemanasan hati-hati. Kemudian tambahkan sisa detergen sedikit demi sedikit, sambil terus diaduk; tambahkan zat warna yang telah dilarutkan dalam air secukupnya; jika masih terdapat sisa air tambahkan sedikit demi sedikit, sambil terus diaduk untuk mencegah terjadinya busa.

Shampoo yang baik

· Harus dapat mencuci rambut dan kulit kepala dengan bersih dan tidak menimbulkan rangsangan

· Harus mempunyai sifat detergent yang baik tetapi tidak membuat kulit kepala menjadi kering

· Harus dapat menghasilkan rambut yang halus, mengkilat, tidak kasar, tidak mudah patah, serta mudah diatur

· Harus memiliki konsistensi yang stabil, dapat menghasilkan busa dengan cepat, lembut, dan mudah dihilangkan dengan pembilasan

Jenis-jenis Shampoo

· Liquid Shampoo (Sampo Cair)

· Lotion Shampoo (Sampo Losio)

· Creme paste Shampoo (Sampo Pasta Krim)

· Gel Shampoo (Sampo Jeli)

· Aerosol Shampoo (Sompo Erosol)

· Dry Shampoo (Sampo Serbuk)

Bahan Utama

Bahan utama pada shampoo adalah surfaktan (sabun dan detergent)

Sabun adalah garam dan asam lemak

Hasil reaksi antara lemak dan minyak hewan dan tumbuhan dengan alkali (cth. NaOH, KOH)

Kekurangan : tidak membentuk busa oleh air sadah, diatasi dengan penambahan chelating agent

Surfactant (1)

a. Anionik

· Gol. Alkyl benzene sulfonat

Mis. Sodium dodecyl benzene sulfonate

· Gol. Primary alkyl sulfat

Mis. Triethanolamine lauryl sulfate

· Gol. Secondary alkyl sulfat

Mis. Lauryc monoglyceride ammonium sulfate

· Gol. Sarcosine

Mis. Laurosyl sarcoine, Cocoyl sarcosine

Surfaktan

b. Kationik

Garam amonium kuarterner

Mis. Dstearyl dimethyl ommonium chloride, dilauryl dimethyl ammonium chloride, cetyl trimethyl ammonium bromide

c. Amfoterik

Mis. Miranol

d. Non Ionik

Mis. Tween, Pluronic F-68

Bagaimana Shampoo bekerja

Surfaktan menurunkan tegangan permukaan air → meningkatkan kemampuan air untuk membasahi kotoran yang melekat (Ingat Makin kecil nilai tegangan permukaan air, makin besar kemampuan air membasahi benda).

Surfoktan bergerak di bawah lapisan berminyak → mengangkat dan permukaan → partikel berbentuk bola.

Bahan Tambahan

Ditambahkan ke dalam sampo untuk menghasilkan sampo yang aman memiliki viskositas yang baik, busa yang stabil, dan dapat mengoptimalkan kerja detergent

· Opocifying agen

· Clarifying agen

· Foam builder

· Conditioning agen

· Thickening agen

· Chelating agen

· Preservotif

· Active agent

Foam Builder

· Bahan yang meningkatkan kualitas, volume, dan stabilitas busa

· Membantu meningkatkan stabilitas dan efek kondisioner

· Contoh : dodecyl benzene sulfonate, lauroyl monoethanolomide

Conditioning agent

· Merupakan bahan berlemak yang memudahkan rambut untuk disisir

· conditioning agent melapisi helai rambul → halus dan mengkilap

· Harus mudah dibilas, tidak meninggalkan rasa berminyak (lengket) di rambut

· contoh lanolin, minyak mineral, telur, polipeptida

Opacifying agent

· Bahan yang memberikan warna buram pada shampoo

· Penting pada pembuatan shampoo jenis krim & losio

· Contoh : Cetyl alcohol, stearyl alcohol, spermaceti, glycol monodistearate, Mg stearate

Clarifying agent

· bahan yang digunakan untuk mencegah kekeruhan pada shampoo

· terutama untuk shampoo dengan bahan utama sabun

· Penting pada pembuatan shampoo cair (likuid shampoo)

· contoh : butil alkohol, isopropil alkohol etil alkohol, metilen glikol, EDTA

Cleating agen Sequestering agent

· Bahan yang mencegah terbentuknya sabun Ca atau Mg karena air sadah

· Contoh : asam sitrat, EDTA

· Dapat digantikan oleh surfaktan non-ionik

Thickening agent

· Bahan yang meningkatkan viskositas shampoo

· Contoh : gom akasia, tragakan, CMC, Methocel

· Kekurangan : dapat membentuk lapisan film pada helai rambut

Preservatif

Bahan yang berguna melindungi sampo dari mikroba yang dapat menyebabkan rusaknya sampo,

Harus dipilih

contoh : formadehid, etil alkohol, ester parahidroksibenzoat

Antidandruff agent

· Antidandruff agent umumnya bersifat antimikroba

· ditambahkan ke dalam shampoo dalam jumlah kecil

· Contoh : Sulfur, Asam Salisilat, Resorsinol, Selenium Sulfida, Zink Piriton



Penunjang Stabilitas

· Bahan-bahan tertentu dapat ditambahkan ke dalam sampo dengan tujuan menunjang stabilitas shampoo (stability additive)

· Antioxidant

Mencegah perubahan warna dan bau sediaan akibat oksidosi,

· Sunsreen

Melindungi sediaan dari sinar matahari, Contoh : Benzophenon

· Suspending agent

Contoh : veegum, bentonit

· pH control agen (larutan dapar)

Mencegah perubahan worna dan bau sediaan akibat perubahan pH

Cosmetics additive

· Bahan-bahan yang ditambahkan ke dalam sampo dengan tujuan memperbaiki tampilan shampoo (cosmetics adihtive)

· Perfume

campurarl minyak atsiri atau sintetik

· Pewarna (dye)

Pewarna yang digunakan harus terdaftar pada Federal Food, Drug, and Cosmetics Act

· Pearlescent pigements

B. Lotion

Lotion adalah Sediaan cair berupa suspensi atau dispersi yang digunakan sebagai obat luar dapat berbentuk suspensi zat padat dalam serbuk halus dengan bahan pensuspensi yang cocok , emulsi tipe o/w dengan surfaktan yang cocok.

Kegunaan : membersihkan make-up (rias wajah) dan lemak dari wajah dan leher.

Ciri-ciri Lotion :

v Lebih mudah digunakan (penyebaran losio lebih merata daripada krim)

v Lebih ekonoms (Lotio menyebar dalam lapisan tipis)

v Ada 2 jenis Lotio :

- Larutan detergen dalam air

- Emulsi tipe M/A

D. Cleansing Cream

Kegunaan Cleansing Cream adalah membersihkan make-up (rias wajah) dan lemak dari wajah dan leher. Krim pembersih adalah modifikasi dari cold cream (krim sejuk). Cold cream diformulasi oleh Galen (150 AD), terdiri atas campuran malam lebah, minyak zaitun dan air. Ada 2 jenis cleansing cream : tipe beeswax-borax dan tipe krim cair.

1. Tipe Emulsi Beeswax-Borax

o Formula populer untuk kim pembersih

o Berwarna putih dan bebas dari butiran

o Mudah mencair dan menyebar pada kulit

o Mengandung mineral oil dalam jumlah besar

o Tipe emulsi M/A Inversi ke Tipe A/M pada kulit

2. Tipe Krim Cair

o Terdiri dari campuran minyak dan malam yang mencair jika dioleskan

o Efek membersihkan sama dengan tipe beeswax-borax

o Dapat ditambahkan emolien untuk meninggalkan lapisan berminyak pada kulit

o Tampilannya tembus cahaya (translucent)

o Untuk membuat tampilannya buram (opaque) ditambah 2 % Zn O, TiO2, Mg stearat, atau Zn stearat

o Ditujukan untuk kulit kering

Pada umumnya sediaan perawatan dan pembersih kulit terdapat dalam bentuk krim atau emulsi, dan yang akan dibicarakan dalam bab ini meliputi :

1. Krim Penghapus dan Krim Dasar
2. Krim Pembersih dan Krim Pendingin
3. Krim Urut dan Krim Pelembut
4. Krim Tangan dan Badan.

Ø Krim Penghapus dan Krim Dasar

Vanishing and Faundation Cream

Krim penghapus adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk maksud menghilangkan tatarias wajah, sehingga wajah menjadi bersih dan siap dilekati dengan krim dasar.

Krim dasar adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk maksud sebagai dasar tatarias wajah.

Bahan : bahan yang digunakan mencakup zat manfaat dan zat tambahan, termasuk parfum dan zat warna.

Ø Krim Pembersih dan Krim Pendingin

Cleansing and Cold Cream

Krim pembersih adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk maksud menghilangkan kotoran yang larut dalam air maupun yang larut dalam minyak secara efisien.

Krim pendingin adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk maksud memberikan rasa dingin dan nyaman pada kulit.

Ciri khas krim pendingin ialah kandungan airnya relatif banyak yang diikat dalam bentuk emulsi m-a.

Bahan : bahan yang digunakan mencakup zat manfaat dan zat tambahan, termasuk parfum dan zat pengawet.

Ø Krim Urut dan Krim Pelembut

Massage and Emollient Creams

Krim urut dan krim pelembut adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk maksud memperbaiki kulit rusak karena suatu unsur atau bahan misalnya, detergen.

Biasanya, krim ini tetinggal pada kulit untuk beberapa jam, umumnya semalam. Krim ini tidak boleh digosokkan karena terlalu cepat diabsorpsi melalui kulit. Krim yang tetinggal merupakan lapisan yang tidak boleh telalu ditekan atau cepat hilang karena gesekan dengan kain alas tidur.

Dasar krim, terutama yang mengandung banyak minyak, yaitu air dalam minyak, krim lembut atau emulsi kental, mudah digunakan tetapi tidak mudah hilang. Krim sepeti ini akan lama tinggal di kulit, sehingga dapat melindungi kulit dan mengurangi penguapan air dari kulit. Makin lama tinggal di kulit makin banyak krim yang diaborpsi. Juga dapat berfungsi sebagai lubrikan dan sebagai emolien.

Bahan : bahan yang digunakan mencakup zat manfaat, antara lain emolien termasuk emolien alami yang larut dalam minyak,pelembab humektan, dan zat tambahan termasuk zat pengawet dan parfum.

Ø Krim Tangan dan Badan

Hand and Body Cream

Krim tangan dan badan adalah sediaan dan kosmetika yang digunakan untuk maksud melindungi kulit supaya tetap halus dan lembut dan kering, bersisik dan mudah pecah.

Kulit mengeluarkan lubrikan alami yaitu sebum, untuk mempertahankan agar permukaan kulit tetap lembut, lunak dan terlindung. Lapisan sebum dapat menjadi rusak atau hilang jika kulit dicuci atau dicelupkan dalam larutan sabun atau detergen.

Jika sebum hilang sacara lebih cepat dari pada terbentuknya, kulit menjadi kering dan bersisik. Permukaan kulit dapat pecah, mempermudah masuknya bakteri, dapat terjadi infeksi, akhirnya kulit akan mengeluarkan cairan, jika dibiarkan dapat menyebabkan dermatitis.

Kulit juga mengandung lapisan lemak yang berfungsi untuk mengontrol penguaan air, kulit juga mengeluarkan cairan pelembab alami. Keseimbangan kandungan kulit air dalam kulit sangat penting untuk diperhatikan.

Pada umumnya kulit tahan terhadap penggunaan sabun dan air untuk waktu yang tidak terbatas. Kulit tidak tahan jika terus menerus terkena angin atau udara kering, atau terlalu sering dan terus menerus menggunakan sabun atau detergen, kecuali dilindungi dengan cara tertentu.

Biasanya disajikan dalam bentuk krim dan krim cair atau emulsi.

Bahan : bahan yang digunakan mencakup zat emolien, zat sawar (barier), zat penutup untuk kulit yang berpori lebar, zat humektan, zat pengental dan pembentuk lapisan tipis, zat pengemulsi, zat pengawet, parfum, dn zat warna.

(Formularium Kosmetika Indonesia, 1985, 330-357)



Daftar Pustaka

Anonim .1979 . Farmakope Indonesia Ed . III . Depkes RI : Jakarta

Anief. Farmasetika Gajah Mada University Press: Yogyakarta.

Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Ed 4. Universitas Indonesia Press: Jakarta.

Anonim.1985. Formularium Kosmetika Indonesia. Depkes RI : Jakarta

dari ; http://dprayetno.wordpress.com/emulsi-shampo-lotion-clensing-cream/

Istilah-Istilah Di Dunia maya

Duh kadang bingung juga kalo baru masuk yang namanya dunia maya,alias internet,banyak banget istilah-istilah yang kadang membingungkan atau kadang-kadang kita belum pernah denger apa sih yang dimaksud,nah ini juga terjadi sama saya waktu awal-awal masuk ke dunia maya.



Bingung banget sampe kepikiran males buat chatingan atau kenal ama orang lewat jaringan sosial kaya Frienster,dulus ih masih populer banget yang namanya FS tu,nah sekarang saya udah agak ngerti beberapa istilah yang di gunakan di dunia maya,moga-moga bisa membantu temen-temen yang masih bingung ama istilah-istilag dunia maya,istilahnya antara lain :

* GRP = Good Reputation Point (cendol )
* BRP = Bad Reputation Point (bata)
* BTT= Back to topic
* momod/mods=moderator
* admin/mimin=administrator
* YM=yahoo messenger
* CCPB = Cara Curang Program Bajakan
* TS = Thread Starter
* ASAIC = As Soon As I Can
* BBL : Be Back Later
* BRB : Be Right Back
* DOUTH : Do You Think?
* F2F : Face To Face
* SPS = Speed Posting Society
* ONS = Online Social Networkting
* FB = Facebook
* FS = FrienfsterYM = Yahoo! Messenger


Selain itu juga masih ada istilah lain kaya di bawah ini

* BB = Black Berry
* MHO : In My Humble Opinion.
* OMG = Oh My God
* Masbaz = Masih Bazah ( baru dicat )
* CMIIW = Correct Me If Iam Wrong
* FYI: for your information
* BTW: by the way
* GTG: Got to Go
* WB: Welcome Back
* LoL: Laughing Out Loud
* ROFL: Rolling On the Floor Laughing ( ktawa guling2 di lantai )
* ASL: Age, se*, Location
* OIC: Oh I See
* BRB: Be Right Back
* FAQ: Frequent Ask Questions
* NP: Now Playing
* OOT: Out Of Topic
* HTH: Hope This Help
* OOP: Out Of Print
* Japri: Jalur Pribadi, PM = Private messages
* Milis: Mailing List
* Re: Reply
* Fwd: Forward
* ASAP: As Soon As Possible
* AFAIK: as far as i know
* AKA: also known as
* ATM: at the moment
* B4: before
* CFV: call for votes
* FWIW: for what it’s worth
* FYA: for your amusement
* GA: go ahead
* HHOJ: ha ha only joking
* HHOK: ha ha only kidding
* HHOS: ha ha only seriousIAE: in any event
* IDK: i don’t know
* IMO:in my opinion
* IMNSHO: in my not so humble opinion
* IMNERHO: in my not even remotely humble opinion
* IOW: in other words
* IRL: in real life
* IYKWIM: if you know what i mean
* JK: just kidding
* L8R: later
* OTOH: on the other hand
* OTTH: on the third hand
* RFC: request for comment
* RFD: request for discussion
* RSN: real soon now
* TIA: thanks in advance
* TNX: thanks
* WRT: With regard/respect to
* WYSIWYG: what you see is what you get
* YMMV: your mileage may vary
* YMMVG: your mileage may vary greatly
* CMIIW: correct me if i’am wrong
* FYEO : for your eyes only
* GPP : ga apa-apa..
* GRP = Good Reputation Point (cendol )
* BRP = Bad Reputation Point (bata)
* BTT= Back to topic
* momod/mods=moderator
* admin/mimin=administrator
* CCPB = Cara Curang Program Bajakan
* TS = Thread Starter
* ASAIC = As Soon As I Can
* BBL : Be Back Late

dari : http://every-thinks.blogspot.com/2010/01/istilah-istilah-di-dunia-maya_7321.html

Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas tidur

1.Penyakit Fisik.

Setiap penyakit yng menyebabkan nyeri, ketidaknyamanan fisik, atau masalah suasana hati, seperti kecemasan atau depresi dapat menyebabkan masalah tidur. Penyakit juga membuat pasien tidur dalam posisi yang tidak biasa, seperti posisi yang aneh saat tangan atau lengan diimobilisasi pada traksi dapat mengganggu tidur. Beberapa penyakit yang menyebabkan gangguan tidur diantaranya adalah penyakit pada pernapasan, jantung koroner, hipertensi, nokturia, lansia, dan orang yang berpenyakit tukak peptik.

2.Obat-obatan dan Substansi.

Dari daftar obat di PDR 1990, dengan 584 obat resep atau obat bebas menuliskan mengantuk mengantuk sebagai salah satu efek samping, 486 menulis insomnia, dan 281 menyebabkan kelelahan (Buysse, 1991). Menagtuk dan deprivasi tidur adalah efek samping mediksi umum. Medikasi yang diresepkan untuk tidur seringkali member banyak masalah daripada keuntungan. Salah satu yang dapat membantu dalam tidur adalah L-triptofan yang terkandung di dalam susu, keju, atau daging.

3.Gaya Hidup.

Individu yang bekerja bergantian berputar (mis. 2 minggu siang diikuti oleh 1 minggu malam) seringkali mempunyai kesulitan menyeseuaikan perubahan jadwal tidur.

4.Pola Tidur yang Biasa dan Mengatuk yang berlebihan pada Siang Hari (EDS).

EDS seringkali menyebabkan kerusakan pada fungsi terjaga, penampilan kerja atau sekolah yang buruk, kecelakaan saat mengemudi atau menggunakan peralatan, dan masalah perilaku atau emosional. Perasaan mengatuk biasanya intens saat terbangun dari, atau sesaat sebelum pergi, tidur, dan sekitar12 jam setelah periode tengah tidur.

5.Stress Emosional.

Stres emosional menyebabkan seseorang menjadi tegang dan seringkali mengarah frustasi apabila tidak tidur. Stres juga menyebabkan seseorang mencoba terlalu keras untuk tertidur, sering terbangun selam siklus tidur, atau terlalu banyak tidur. Stres yang berlanjut dapat menyebabkan kebiasaan tidur yang buruk.

6.Lingkungan

Yang dapat mempengaruhi kemampuan untuk tertidur dan tetap tertidur diantaranya adalah ventilasi yang baik, ukuran, kekerasan, dan posisi tempat tidur, suara, serta tingkat cahaya.

7.Latihan Fisik dan Kelelahan.

Seseorang yang kelelahan menengah (moderate) biasanya memperoleh tidur yang mengistirahatkan, khususnya jika kelelahan adalah hasil dari kerja atau latihan yang menyenangkan. Latihan 2 jam atau lebih sebelum waktu tidure membuat tubuh mendingin dan mempertahankan suatu keadaan kelelahan yang meningkatkan relaksasi.

8.Asupan Makanan dan Kalori.

Kehilangan atau peningkatan berat badan mempengaruhi pola tidur. Ketika seseorang bertambah berat badannya, maka periode tidur akan menjadi lebih panjang dengan lebih sedikit interupsi. Kehilangan berat badan menyebabkan tidur pendek dan terputus-putus. Gangguan tidur tertentu dapat dihasilkan dari diet semisempurna yan g popular di dalam kelompok masyarakat yang sadar-berat badan.

dari : http://every-thinks.blogspot.com/2010/01/faktor-faktor-yang-mempengaruhi_03.html

Klasifikasi fraktur

harles A Rockwood mengklasifikasikan fraktur secara radiologist

1. Lokalisasi/letak fraktur seperti diafisis, metafisis, intra-artikular.
2. Konfigurasi/sudut patah dari fraktur :

* Fraktur transversal
* Fraktur oblik
* Fraktur spiral
* Fraktur kominutif
* Fraktur segmental
* Fraktur Impaksi/kompresi

1. Menurut ekstensi :

* Fraktur total
* Fraktur tidak total (fracture crack)
* Fraktur buckle/torus
* Fraktur garis rambut
* Fraktur greenstick
* Fraktur avulse
* Fraktur sendi


Terbuka dan tertutup

Fraktur terbuka disebut juga compound fracture. Fraktur di mana kulit dari ekstremitas yang terlibat telah ditembus patahan tulang. Fraktur terbuka terbagi atas 3 derajat (R. Gustillo) :
1. Derajat I

* Luka <>

2. Derajat II

* Laserasi > 1 cm.
* Kerusakan jaringan lunak tidak luas.
* Fraktur kominutif sedang.
* Kontaminasi sedang.

3. Derajat III:

1. terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot, dan neurovaskuler, serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III terbagi atas:

* Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun terdapat laserasi luas atau fraktur segmental yang disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran luka.
* Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau kontaminasi masif.
* Luka pada pembuluh arteri atau saraf perifer.

Fraktur tertutup : disebut juga closed fracture. Tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan lingkungan luar

Komplit dan tidak komplit

1. Fraktur komplit : bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang.
2. Fraktur tidak komplit : bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang
3. Hairline fracture : patah retak rambut
4. Buckle fracture/ Torus fracture : bila terjadi lipatan dari korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya. Biasanya pada distal radius anak-anak.
5. Greenstick fracture : fraktur tidak sempurna, korteks tulangnya sebagian masih utuh, demikian juga periosteumnya. Sering terjadi pada anak-anak. Fraktur ini akan segera sembuh dan segera mengalami remodelling ke bentuk fungsi normal.

• Sudut patah:

* Fraktur transversal: garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang. Pada fraktur semacam ini, segmen-segmen tulang yang patah direposisi/ direduksi kembali ke tempatnya semula.
* Farktur oblik: garis patahnya membentuk sudut. Fraktur ini tidak stabil dan sulit diperbaiki.
* Fraktur spiral: akibat trauma rotasi. Garis patah tulang membentuk spiral. Fraktur cenderung cepat sembuh.

Jumlah garis patah:

* Fraktur kominutif: garis patah lebih dari 1 dan saling berhubungan.
* Fraktur segmental: garis patah lebih dari 1 tetapi tidak saling berhubungan.
* Fraktur multiple: garis patah lebih dari 1 tetapi pada tulang yang berlainan.

• Trauma:

* Fraktur kompresi: 2 tulang menumbuk tulang ke-3 yang berada diantaranya.
* Fraktur avulse: trauma tarikan, suatu fragmen tulang pada tempat insersi tendon ataupun ligamen.
* Fraktur spiral

Bergeser dan tidak bergeser

1. Fraktur undisplaced: garis patah komplit tetapi ke-2 fragmen tidak bergeser, periosteumnya masih utuh.
2. Fraktur displaced: terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang juga disebut lokasi fragmen. Terbagi atas:

* Dislokasi ad longitudinal cum contractionum: pergeseran searah sumbu dan overlapping.
* Dislokasi ad axim: pergeseran yang membentuk sudut.
* Dislokasi ad latus: pergeseran di mana kedua fragmen saling menjauh.


Sumber: Muttaqin, Arif. 2005. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: EGC oleh Yovinda)

dari : http://every-thinks.blogspot.com/2010/01/klasifikasi-fraktur.html

Terapi metronidazol

Dalam perdagangan metronidazol terdapat dalam bentuk basa dan garam hidroklorida. Sebagai basa berupa serbuk kristal berwarna putih hingga kuning pucat. Sedikit larut dalam air dan dalam alkohol, dan mempunyai pKa 2,6. Injeksi metronidazol jernih, tidak berwarna, larutan isotonik dengan pH 4,5 – 7, dengan osmolaritas 297-314 mOsm/L dan mengandung natrium fosfat, asam sitrat dan natrium klorida. Metronidazol hidroklorida sangat larut dalam air dan larut dalam alkohol, dalam perdagangan berupa serbuk berwarna putih.
Tujuan
Sebagai obat antibiotik untuk mengobati infeksi.
Injeksi metronidazol harus disimpan pada 15°C hingga 30°C dan dilindungi dari cahaya. Produk dapat disimpan dalam kulkas namun akan terbentuk kristal.

Kristal dapat dilarutkan kembali dengan menghangatkannya pada suhu kamar. Paparan cahaya dalam jangka waktu panjang dapat menyebabkan warna produk menjadi gelap. Namun demikian paparan cahaya yang normal pada ruangan dalam jangka pendek tidak mempengaruhi stabilitas metronidazol. Paparan sinar matahari langsung harus dihindari. Larutan standar : 500 mg/ 100 ml NS. Stabilitas campuran parenteral pada suhu kamar (25°C): stabilitas pada produk yang terbungkus : 30 hari.

Kontraindikasi

Hipersensitivitas terhadap metronidazol, turunan nitroimidazol, atau komponen yang ada dalam sediaan, kehamilan (trimester pertama – didapatkan efek karsinogenik pada tikus)

Efek Samping

Mual, muntah, gangguan pengecapan, lidah kasar dan gangguan saluran pencernaan; rash ;mengantuk (jarang terjadi), sakit kepala, pusing , ataksia, urin berwarna gelap, erytema multiform, pruritus, urtikaria, angioedema dan anafilaksis; juga dilaporkan abnormalitas tes fungsi hati, hepatitis, jaundice, trombositopenia, anemia aplastik, myalgia, athralgia; pada pengobatan intensif dan jangka panjang dapat terjadi peripheral neuropathy, transient epilepsi-form seizure dan leukopenia.

Sumber: www.diskes.jabarprov.go.id diakses tanggal 14 desember 2009 jam 13.30

dari : http://every-thinks.blogspot.com/2010/01/terapi-metronidazol.html

Anti virus (antiviral)

Virus (dalam bahasa latin dan sanskerta : visham = racun) merupakan mikro-organisme hidup yang terkecil , dengan ukuran 20 dan 300 mikron. Di luar tubuh manusia kerap kali virus berbentuk seperti kristal tanpa tanda hidup, sangat ulet yaitu tahan asam dan basa,serta tahan suhu-suhu rendah dan tinngi sekali. Baru jika keadaan sekitarnya baik, seperti dalam tubuh manusia atau hewan, kristal tersebut bernyawa kembali dan memperbanyak diri.

Pengembangan anti virus baik sebagai pencegahan maupun terapi belum dapat mencapai hasil yang diinginkan , karena obat anti virus selaian menghambat dan membunuh virus, juga merusak sel-sel hospes dimana virus berada.Sejumlah obat anti virus sudah banyak dikembangkan tetapi hasilnya belum memadai karena toksisitasnya sangat tinggi. Hanya beberapa anti virus yang saat ini digunakan, antara lain idoksuridin pada penggunaan topical dan herpes simplex congjutivitis serta asiklovir.

Asiklovir

Obat ini berkhasiat terhadap herpes simplex dam herpes zoster, tanpa mengganggu fisiologi sel-sel tuan rumah. Aktivitasnya jauh lebih kuat dibandingkan virus statistika lain.
Asiklovir aktif terhadap virus herpes tetapi tidak bisa memusnahkanaya dan hanya efektif bila digunakan pada awal penyakit. Penggunaan asiklovir meliputi pengobatan sistemik dan topical, termasuk herpes genitalis. Asiklovir dapat merupakan obat penyelamat bagi pasien herpes simplex. Efek samping pada penggunaan parenteral adalah tromboflebitis di tempat suntik, kaang-ladang mual,muntah, tremor dan kekacauan. Secara local terjadi rasa nyeri dan terbakar. Tidak bersifat karsinogen dan karsinogenik.

Idoksuridin (IDEU)

Berkhasiat virus static terhadap sejumlah virus kelompok DNA. Memiliki efek samping yang sangat toksis bagi hospes maka hanya digunakan secara local sebagai salep dan tetes mata.

Sediaan, kontra indikasi dan efek samping

1. Asiklovir

Indikasi :herpes simplex dan varisella zoster
Kontra indikasi :gangguan fungsi ginjal, kehamilan dan menyusui
Efek samping :ruam kulit, gangguan saluran cerna, sakit kepala, gangguan neurologis
Sediaan :acyclovir (generik) , tabl 200 mg, 400 mg

2 Idoksurudin

Indikasi :terapi keratitis pad herpes simplex secar topikal

dari ; http://every-thinks.blogspot.com/2010/01/anti-virus-antiviral.html

ANALGESIK

Analgesik nonopoid/Agens Antiinflamasi Nonsteroid

Profil Farmakologik

Definisi : Obat yang mengurangi atau mungkin bahkan menghilangkan rasa sakit tanpa diikuti hilangnya kesadaran.

Penggunaan Umum : Kebanyakan agen dalam kelompok ini digunakan untuk mengendalikan nyeri ringan sampai sedang , demam dan berbagai penyakit inflamasi seperti, arthritis reumatoid dan osteo arthritis.
Analgesik-antiperitik terdiri dari beberapa golongan, yaitu

Salisilat

Salisilat di pasaran dikenal sebagai aspirin. Dalam dosis tinggi, aspirin mempunyai khasiat antiradang sehingga sering digunakan untuk mengobati radang sendi (rematik). Obat ini juga bersifat mengurangi daya ikat sel-sel pembeku darah sehingga penting untuk segera diberikan pada penderita angina (serangan jantung), untuk mencegah penyumbatan pembuluh darah jantung karena penggumpalan/pembekuan darah. Aspirin dapat menimbulkan nyeri dan perdarahan lambung, karena itu sebaiknya dikonsumsi setelah makan. Dosis yang berlebihan dapat menyebabkan telinga berdenging, tuli, penglihatan kabur, bahkan kematian.

Asetaminofen

Asetaminofen di pasaran dikenal sebagai parasetamol. Obat ini mempunyai khasiat antiradang yang jauh lebih lemah dari aspirin sehingga tidak bisa digunakan untuk mengobati rematik. Asetaminofen tidak merangsang lambung sehingga dapat digunakan oleh penderita sakit lambung. Akan tetapi tidak efektif sebagai agens antiinflamasi.

Piralozon

Di pasaran piralozon terdapat dalam antalgin, neuralgin, dan novalgin. Obat ini amat manjur sebagai penurun panas dan penghilang rasa nyeri. Namun piralozon diketahui menimbulkan efek berbahaya yakni agranulositosis (berkurangnya sel darah putih), karena itu penggunaan analgesik yang mengandung piralozon perlu disertai resep dokter.

Asam-mefenamat

Asam mefenamat termasuk obat pereda nyeri yang digolongkan sebagai NSAID (Non Steroidal Antiinflammatory Drugs). Asam mefenamat digunakan untuk mengatasi berbagai jenis rasa nyeri, namun lebih sering diresepkan untuk mengatasi sakit gigi, nyeri otot, nyeri sendi dan sakit ketika atau menjelang haid. Seperti juga obat lain, asam mefenamat dapat menyebabkan efek samping.
Salah satu efek samping asam mefenamat yang paling menonjol adalah merangsang dan merusak lambung. Sebab itu, asam mefenamat sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang mengidap gangguan lambung.

Fenazopiridin

Fenazopiridin hanya digunakan sebagai analgesic saluran kemih.

Metotrimeprazin

Metotrimeprazin adalah fenotiazin dengan sifat analgesic, namun karena hipotensi berlebihan yang ditimbulkannya mengakibatkan agens tidak digunakan secara rutin.

dari : http://every-thinks.blogspot.com/2010/01/analgesik.html

Mengukur intensitas nyeri

Mengapa "harus terukur"?

Seorang ibu 86 tahun, datang dengan "tenang". Ho ho,..... padahal,.leher tulang paha atasnya (kolum femoris), sisi kiri, patah ---- tah !. Saya dapati pada foto rontgen yang saya minta, "curiga" karena lutut mengsol kearah luar (eksorotasi). Adem-adem, hanya mengeluh "tidak enak badan".
Sementara yang belia , Silvi Anhar (anggota wikimu) menulis"Bu dokter, setiap bangun tidur, pas ditapakin di lantai atau mau berjalan, tumit (telapak kaki) sakit/ngilu banget......" Lha.....

Keduanya "harus " dipercayai . Rasa nyeri memang subyektif, sangat individual. Margi (1968) memberikan batasan :. "Pain is whatever the experiencing person says it is, existing whenever he says it does" . Susah menerjemahkan dengan pas, intinya stimulus nyeri yang sama, bisa dirasakan berbeda untuk orang berbeda. Bisa kali, disamakan dengan makan cabe.
Sakit atau pada bahasan ini nyeri memang bukan penyakit. Nyeri merupakan bagian dari gejala. Merupakan mekanisme pertahanan tubuh. Nyeri merupakan gejala yang paling banyak mengantar seseorang berkonsultasi ke dokter.

Mengobyektifkan Nyeri

Nyeri diupayakan menjadi terukur dengan skala. Termasuk disini skala numerik nyeri, visual analog scale yang berupa garis lurus , dan skala wajah. Skala dipergunakan untuk mendeskripsikan intensitas / beratnya rasa nyeri.

1.Skala Numerik Nyeri

Skala ini sudah biasa dipergunakan dan telah di validasi . Berat ringannya rasa sakit atau nyeri dibuat menjadi terukur dengan mengobyektifkan pendapat subyektif nyeri. Skala numerik, dari 0 hingga 10.

2.Visual Analog Scale

Terdapat skala sejenis yang merupakan garis lurus , tanpa angka. Bisa bebas mengekspresikan nyeri , ke arah kiri menuju tidak sakit, arah kanan sakit tak tertahankan, dengan tengah kira-kira nyeri yang sedang.

3.Skala Wajah

Skala nyeri enam wajah dengan ekspresi yang berbeda , menampilkan wajah bahagis hingga wajah sedih, juga di gunakan untuk "mengekspresikan" rasa nyeri. Skala ini dapat dipergunakan mulai anak usia 3 (tiga) tahun.

Bagaimana Menggunakannya?

Seorang pasien, pasca tindakan bedah pada tulang belakang, mengeluhkan rasa nyeri saat duduk atau berdiri. Sakit dinyatakan hampir mendekati 10, menggunakan skala numerik seperti pada gambar di atas. Prosedur awal, diberikan obat disertai modalitas fisioterapi TENS. Nyeri memang hilang saat berbaring , tetapi segera timbul saat duduk ataupun berdiri. Berjalan hanya mampu tiga langkah. Program segera dikoreksi, diberikan laser tenaga rendah / Low Level Laser Therapy (LLLT). Nyeri turun 80 % setelah LLLT pertama. Maka pada pasien ini LLLT diberikan. Pada keadaan tersebut di atas skala numerik nyeri, digunakan untuk penilaian hasil dari suatu tindakan.

Pada kehidupan sehari-hari, skala nyeri dapat digunakan untuk menentukan kapan minum obat penghilang rasa sakit. Untuk obat yang dikatakan bila perlu, minumlah obat bila skala nyeri pada skala 2 (dua). Obat memerlukan waktu untuk dapat bekerja, bila nyeri sudah mencapai skala 4 (empat), sudah sulit untuk dapat segera meredakan nyeri.
Ada kalanya suatu obat harus diminum by the clock, tidak menunggu rasa nyeri timbul, namun untuk menentukan dosis yang tepat, tetap diharapkan dipandu dengan seberapa berat (intensitas) rasa sakit ini dirasakan. Para dokter yang berkumpul pada pertengahan April 2008 yang lalu di Hotel Borobudur, membahas berbagai penyakit Rematik, juga sepakat, untuk menggunakan skala nyeri agar bisa membantu memberikan tatalaksana yang tepat.

dari : http://every-thinks.blogspot.com/2010/01/mengukur-intensitas-nyeri.html

TIP MENGENALI HIPERTENSI

Penyebab Hipertensi :

Hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu :

Hipertensi Esensial atau primer penyebab dari hipertensi esensial sampai saat ini belum dapat diketahui. Jumlah Hipertensi terbanyak (90%)

Hipertensi Skunder, Penyebabnya dapat diketahui diduga karena stress,keturunan,Merokok,Kegemukan,Kurang aktivitas fisik / olah raga, konscumsi minuman keras dan kelainan ginjal. Jumlahnya 10% nya tergolong hipertensi skunder.

Gejal Hipertensi

Tekanan darah tinggi mempunyai gejala bervariasi pada setiap orang dan hampir sama dengan gejala pada penyakit lainya. Gejala penyakit tekanan darah tinggi adalah :

* Sakit kepala
* Jantung Berdebar – debar
* Mudah lelah
* Penglihatan Kabur
* Sering buang air kecil terutama dimalam hari
* Telinga berdengung
* Vertigo atau bumi terasa berputar
* Hidung berdarah atau mimisan

Akibat Hipertensi

* Serangan jantung
* Stroke
* Gagal ginjal
* Payah jantung
* Kebutaan

Pencegahaan

* Periksa tekanan darah secar teratur
* Kurangi makanan berkadar garam tinggi
* Lakukan aktivitas fisik 30 menit setiap hari
* Lakukan olahraga Aerobik ( jogging, jalan sehat,renang,bersepeda,senam) selama 20 – 30 menit minimal 3 – 5 kali seminggu
* Tidak merokok
* Jaga berat badan agar normal
* Kendalikan strees
* Istirahat yang cukup

Bila terkena Hipertensi

* Kontrol ke dokter
* Minum obat teratur
* Olah raga terukur dan teratur
* Timbang berat badan dan ukur lingkar perut
* Hati – hati ketika makan dan minum
* Menjaga kesehatan mental

Sumber : Med!akom.Ed 06 Juni 2007

Hidup sehat berawal dari diri sendiri bukan orang lain .

dari : http://dprayetno.wordpress.com/2008/08/29/tip-mengenali-hipertensi/

Dampak Negatif Pemakaian Antibiotik

Menimbulkan Kekebalan (resisten)

Dalam tubuh manusia terdapat kuman-kuman "normal" yang memang dibutuhkan tubuh dan tidak memunculkan penyakit. Dengan konsumsi antibiotik berulang, kuman "normal" ini akan menjadi kebal. Lalu kekebalannya bisa ditularkan pada kuman lain, termasuk kuman yang menyebabkan penyakit. Jadi antibiotik yang dikonsumsi berulang-ulang dapat menimbulkan kekebalan, apalagi bila penggunaan itu sebenarnya tidak perlu. Dikhawatirkan, bila terjadi infeksi yang betul-betul membutuhkan antibiotik, obat tersebut sudah tidak lagi efektif karena tubuh sudah resisten.

Memunculkan Reaksi Alergi

Bila penggunaannya tidak tepat, antibiotik bisa menyebabkan alergi, seperti gatal, mual, pusing, dan sebagainya. Reaksi alergi berupa kemerahan pada kulit umumnya terjadi di seluruh tubuh, dari muka, badan, hingga lengan, atau yang lebih berat bila timbul gelembung berisi air pada kulit (sindrom Steven Johnson), dan jika hal ini terjadi sebaiknya antibiotik segera dihentikan.

dari : http://every-thinks.blogspot.com/2010/01/dampak-negatif-pemakaian-antibiotik.html

MENGENAL PENGGOLONGAN OBAT

Menurut pengertian umum,obat dapat didefinisikan sebagai bahan yang menyebabkan perubahan dalam fungsi biologis melalui proses kimia. Sedangkan definisi yang lengkap, obat adalah bahan atau campuran bahan yang digunakan (1) pengobatan, peredaan, pencegahan atau diagnosa suatu penyakit, kelainan fisik atau gejala-gejalanya pada manusia atau hewan; atau (2) dalam pemulihan, perbaikan atau pengubahan fungsi organik pada manusia atau hewan. Obat dapat merupakan bahan yang disintesis di dalam tubuh (misalnya : hormon, vitamin D) atau merupakan merupakan bahan-bahan kimia yang tidak disintesis di dalam tubuh.

Penggolongan sederhana dapat diketahui dari definisi yang lengkap di atas yaitu obat untuk manusia dan obat untuk hewan. Selain itu ada beberapa penggolongan obat yang lain, dimana penggolongan obat itu dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi.

Berdasarkan undang-undang obat digolongkan dalam :

1. Obat Bebas
2. Obat Keras
3. Obat Psikotropika dan Narkoba

Berikut penjabaran masing-masing golongan tsb :

1. OBAT BEBAS

Obat bebas adalah obat yang boleh digunakan tanpa resep dokter (disebut obat OTC = Over The Counter), terdiri atas obat bebas dan obat bebas terbatas.

1.1. Obat bebas

Ini merupakan tanda obat yang paling "aman" .
Obat bebas, yaitu obat yang bisa dibeli bebas di apotek, bahkan di warung, tanpa resep dokter, ditandai dengan lingkaran hijau bergaris tepi hitam. Obat bebas ini digunakan untuk mengobati gejala penyakit yang ringan. Misalnya : vitamin/multi vitamin (Livron B Plex, )

1.2. Obat bebas terbatas

Obat bebas terbatas (dulu disebut daftar W). yakni obat-obatan yang dalam jumlah tertentu masih bisa dibeli di apotek, tanpa resep dokter, memakai tanda lingkaran biru bergaris tepi hitam. Contohnya, obat anti mabuk (Antimo), anti flu (Noza). Pada kemasan obat seperti ini biasanya tertera peringatan yang bertanda kotak kecil berdasar warna gelap atau kotak putih bergaris tepi hitam, dengan tulisan sebagai berikut :
P.No. 1: Awas! Obat keras. Bacalah aturan pemakaiannya.
P.No. 2: Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar dari badan.
P.No. 3: Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan.
P.No. 4: Awas! Obat keras. Hanya untuk dibakar.
P.No. 5: Awas! Obat keras. Obat wasir, jangan ditelan

Memang, dalam keadaaan dan batas-batas tertentu; sakit yang ringan masih dibenarkan untuk melakukan pengobatan sendiri, yang tentunya juga obat yang dipergunakan adalah golongan obat bebas dan bebas terbatas yang dengan mudah diperoleh masyarakat. Namun apabila kondisi penyakit semakin serius sebaiknya memeriksakan ke dokter. Dianjurkan untuk tidak sekali-kalipun melakukan uji coba obat sendiri terhadap obat - obat yang seharusnya diperoleh dengan mempergunakan resep dokter.

Apabila menggunakan obat-obatan yang dengan mudah diperoleh tanpa menggunakan resep dokter atau yang dikenal dengan Golongan Obat Bebas dan Golongan Obat Bebas Terbatas, selain meyakini bahwa obat tersebut telah memiliki izin beredar dengan pencantuman nomor registrasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan atau Departemen Kesehatan, terdapat hal- hal yang perlu diperhatikan, diantaranya: Kondisi obat apakah masih baik atau sudak rusak, Perhatikan tanggal kadaluarsa (masa berlaku) obat, membaca dan mengikuti keterangan atau informasi yang tercantum pada kemasan obat atau pada brosur / selebaran yang menyertai obat yang berisi tentang Indikasi (merupakan petunjuk kegunaan obat dalam pengobatan),
kontra-indikasi (yaitu petunjuk penggunaan obat yang tidak diperbolehkan), efek samping (yaitu efek yang timbul, yang bukan efek yang diinginkan), dosis obat (takaran pemakaian obat), cara penyimpanan obat, dan informasi tentang interaksi obat dengan obat lain yang digunakan dan dengan makanan yang dimakan.

2. OBAT KERAS

Obat keras (dulu disebut obat daftar G = gevaarlijk = berbahaya) yaitu obat berkhasiat keras yang untuk memperolehnya harus dengan resep dokter,memakai tanda lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf K di dalamnya. Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah antibiotik (tetrasiklin, penisilin, dan sebagainya), serta obat-obatan yang mengandung hormon (obat kencing manis, obat penenang, dan lain-lain)

Obat-obat ini berkhasiat keras dan bila dipakai sembarangan bisa berbahaya bahkan meracuni tubuh, memperparah penyakit atau menyebabkan mematikan.

3. PSIKOTROPIKA DAN NARKOTIKA

Obat-obat ini sama dengan narkoba yang kita kenal dapat menimbulkan ketagihan dengan segala konsekuensi yang sudah kita tahu.

Karena itu, obat-obat ini mulai dari pembuatannya sampai pemakaiannya diawasi dengan ketat oleh Pemerintah dan hanya boleh diserahakan oleh apotek atas resep dokter. Tiap bulan apotek wajib melaporkan pembelian dan pemakaiannya pada pemerintah.

3.1.PSIKOTROPIKA

Psikotropika adalah Zat/obat yang dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan syaraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan dan dapat menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi (merangsang) bagi para pemakainya.

Jenis –jenis yang termasuk psikotropika:
a. Ecstasy
b. Sabu-sabu

3.2. NARKOTIKA
Adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan dengan memasukkannya ke dalam tubuh manusia.
Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat , halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan yang menyebabkan efek ketergantungan bagi pemakainya.

Macam-macam narkotika:

a. Opiod (Opiat)
Bahan-bahan opioida yang sering disalahgunakan :

• Morfin
• Heroin (putaw)
• Codein
• Demerol (pethidina)
• Methadone

b. Kokain

c. Cannabis (ganja)

dari ; http://www.ptphapros.co.id/article.php?&m=Article&aid=17&lg

ANTIBIOTIK

Antibiotik ditemukan oleh Alexander Flemming pada tahun 1929 dan digunakan untuk membunuh bakteri secara langsung atau melemahkan bakteri sehingga kemudian dapat dibunuh dengan sistem kekebalan tubuh kita. Antibiotik adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri.

Antibiotik berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari Anti (lawan),Bios (hidup). Antibiotik adalah Suatu zat kimia yang dihasilkan oleh bakteri ataupun jamur yang berkhasiat obat apabila digunakan dalam dosis tertentu dan berkhasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman dan toksisitasnya tidak berbahaya bagi manusisa.

Faktor Yang Perlu Dipertimbangkan Dalam Penggunaan Antibiotika

Harus mempertimbangkan faktor-faktor :

· Gambaran klinis adanya infeksi yang diderita
· Faktor sensitivitas bakteri terhadap antibiotik
· Fungsi ginjal dan hati pasien
· Biaya pengobatan

Antibiotika Kombinasi diberikan apabila pasien :

v Pengobatan infeksi campuran
v Pengobatan pada infeksi berat yang belum jelas penyebabnya
v Efek sinergis
v Memperlambat resistensi

Mekanisme Kerja Antbiotik

1. Menghambat metabolisme sel, seperti sulfonamid dan trimetoprim.
2. Menghambat sintesa dinding sel, akibatnya pembentukkan dinding sel tidak sempurna dan tidak dapat menahan tekanan osmosa dari plasma, akhirnya sel akan pecah seperti penicillin, vankomisin, dan sefalosporin.
3. Menghambat sintesa membran sel, molekul lipoprotein dari membran sel dikacaukan pembentukkannya hingga bersifat permeabel akibatnya zat-zat penting dari isi sel keluar, seperti polimiksin.
4. Menghambat sintesa protein sel dengan melekatkan diri ke ribosom akibatnya sel terbentuknya tidak sempurna, seperti tetrasiklin, kloramfenikol, streptomisin, dan aminoglikosida.
5. Menghambat pembentukkan asam-asam inti (DNA dan RNA) akibatnya sel tidak dapat berkembang, seperti rifampisin.

Berdasarkan kemampuannya membunuh mikroba Antibiotik dibagi menjadi dua yaitu ; Bersifat bakterisid (Misal : penisilin, sefalosporin, aminoglikosida, polipeptida). Bersifat bakteriostatik (Misal : tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, sulfonamida) Aktivitas dari antibiotika dinyatakan dalam mg. Kecuali zat yang belum dapat diperoleh 100% murni dan terdiri dari beberapa campuran zat (misal Nistatin,polimiksin B, basitrasi Þ IU (International Unit)).

Penggolongan antibiotik berdasarkan aktivitasnya dibagi menjadi dua yaitu :

1. Zat-zat dengan aktivitas sempit (narrow spectrum), berguna untuk membunuh jenis-jenis bakteri secara spesifik, seperti ampicillin dan amoxycilin (augmentin, surpas, bactrim, septrim).
2. Zat-zat dengan aktivitas luas (broad spectrum), membunuh semua jenis bakteri didalam tubuh. Dianjurkan untuk menghindari mengkonsumsi Antibiotik jenis ini karena akan membunuh jenis bakteri lainnya yang sangat berguna untuk tubuh kita. Antibiotik yang termasuk kategori ini adalah cephalosporin (cefspan, cefat, keflex, velosef, duricef,dll).

Kelompok Antibiotik

1. Sulfonamid

• Aktivitas : spektrum antibakteri luas baik gram positif (+) maupun gram negatif (-) yg peka, contoh : Pyogenes, E.coli, B. anthracis, v. cholerae, C. trachomatis, C. diphteriae,
• Bersifat bakteriostatik, yaitu hanya menghentikan pertumbuhan mikroorganisme,
• Mekanisme kerja : antagonisme kompetitif PABA (para amino benzoid acid),
• Sediaan : oral, parenteral, topical,
• Efek samping : reaksi alergi, agranulositosis, trombositopeni, gangguan saluran kemih.

2. Kotrimoksazole

• Merupakan kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol,
• Spektrum antibakteri luas, contohnya : S. aureus, Str. Pneumoniae, N. meningitis, E. coli,
• Mekanisme kerja : sulfonamid menghambat masuknya PABA ke molekul asam folat, trimetoprim menghambat terjadinya reaksi reduksi dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat,
• Sediaan : tablet, suspensi, tablet pediatric,
• Indikasi : infeksi saluran napas, infeksi gonokokal akut, shigellosis.

3. Penisilin

• Mekanisme kerja : menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel bakteri,
• Resistensi terhadap penisilin disebabkan diproduksinya enzim penisilinase oleh mikroorganisme,
• Efek samping : iritasi lokal, mual, muntah, diare, syok anafilaktik,
• Indikasi : infeksi pneumokokus, streptokokus, stafilokokus, meningokokus, gonokokus, salmonela, difteria.

3.Sefalosporin

• Mekanisme kerja : menghambat sintesis dinding sel mikroba
• Aktif terhadap bakteri gram (+) dan gram (-), tetapi masing-masing derivat bervariasi
• Efek samping : reaksi alergi
• Sefalosporin hanya digunakan untuk infeksi yang berat atau tidak dapat diobati dengan antimikroba yang lain.

• Spektrum : luas, baik gram (+) atau gram (-), aerob, anaerob, spirochaeta, klamiidia, riketsia,
• Derivat : tetrasiklin, klortetrasiklin, oksitetrasiklin, demeklosiklin, rolitetrasiklin, doksisiklin, minosiklin, limesiklin,
• Indikasi : infeksi klamidia, riketsia, mikoplasma, gonore, kokus, kollera,
• Efek samping : reaksi kepekaan, toksik dan iritatif,
• Sediaan : tablet, kapsul, sirup, salep, pulveres.

6. Kloramfenikol

• Mekanisme kerja : menghambat sintesis protein kuman
• Sifat : bakteriostatik
• Spektrum antibakteri luas
• Indikasi : demam tifoid, meningitis purulenta, riketsiosis, kuman anaerob
• Efek samping : depresi sumsum tulang, alergi, reaksi sal.cerna, sindrom Gray, reaksi neurologik.

7.Aminoglikosid
• Efektif untuk bakteri gram (–)
• Mekanisme kerja : menghambat sintesis sel bakteri
• Sifat : bakterisidal, yaitu dapat mematikan mikroorganisme
• Efek samping : alergi, iritasi, ototoksik, nefrotoksik
• Jenis : streptomisin, gentamisin, kanamisin, neomisin, amikasin, tobramisin, paromomisin
• Indikasi : bakteri gram (-), Pseudomonas.

8.Golongan makrolida

Golongan makrolida hampir sama dengan penisilin dalam hal spektrum antikuman, sehingga merupakan alternatif untuk pasien-pasien yang alergi penisilin. Bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Aktif secara in vitro terhadap kuman-kuman Gram positif, Gram negatif, mikoplasma, klamidia, riketsia dan aktinomisetes. Selain sebagai alternatif penisilin, eritromisin juga merupakan pilihan utama untuk infeksi pneumonia atipik (disebabkan oleh Mycoplasma pneumoniae) dan penyakit Legionnaires (disebabkan Legionella pneumophilla) termasuk dalam golongan makrolida selain eritromisin juga roksitromisin, spiramisin, josamisin, rosaramisin, oleandomisin dan trioleandomisin.

9. Golongan linkosamid.

Termasuk di sini adalah linkomisin dan klindamisin, aktif terhadap kuman Gram positif termasuk stafilokokus yang resisten terhadap penisilin, aktif terhadap kuman anaerob, misalnya bakteroides.

10. Golongan polipeptida.
Antibiotika golongan ini meliputi polimiksin A, B, C, D dan E. Merupakan kelompok antibiotika yang terdiri dari rangkaian polipeptida dan secara selektif aktif terhadap kuman Gram negatif, misalnya psedudomonas maupun kuman-kuman koliform yang lain. Toksisitas polimiksin membatasi pemakaiannya, terutama dalam bentuk neurotoksisitas dan nefrotoksisitas.

11.Golongan kuinolon
Merupakan kemoterapetika sintetis yang akhir-akhir ini mulai populer dengan spektrum antikuman yang luas terutama untuk kuman-kuman Gram negatif dan Gram positif, enterobakteriaceae dan pseudomonas. Terutama dipakai untuk infeksi-infeksi nosokomial. Termasuk di sini adalah asam nalidiksat, norfloksasin, ofloksasin, dan pefloksasin.

******* dari sumber lainnya ********

Penggolongan Antibiotika

1. Penisilin
2. Sefalosporin
3. Aminoglikosida
4. Tetrasiklin
5. Sulfanilamida
6. Kuinolon
7. Makrolida
8. Linkomisin
9. Polipeptida
10. Kloramfenikol
11. Antibiotik lainnya

1. Gol. b-laktam
A. Penisilin

Dihasilkan oleh fungi Penicillinum chrysognum.Memiliki cincin b-laktam yang diinaktifkan oleh enzim b-laktamase bakteri.Aktif terutama pada bakteri gram (+) dan beberapa gram (-)Contoh : amoksisilin, ampisilin.Untk meningkatkan ketahanan thp b-laktamase Þ penambahan senyawa untuk memblokir & menginaktivasi b-laktamase. Misal :Amoksisilin + asam klavulanat,Ampisilin + sulbaktam,Piperasilin + tazobaktam.

Efek samping : reaksi alergi Þsyok anafilaksis Þ kematian,Gangguan lambung & usus.Pada dosis amat tinggi dapat menimbulkan reaksi nefrotoksik dan neurotoksik.Aman bagi wanita hamil & menyusui

B. Sefalosporin

Dihasilkan oleh jamur Cephalosporium acremonium.Spektrum kerjanya luas meliputi bakteri gram positif dan negatif termasuk E.coli, Klebsiella dan Proteus.

Penggolongan sefalosporin berdasarkan aktivitas & resistensinya terhadap b-laktamase

Generasi I Þ aktif pada bakteri gram positif. Pada umumnya tidak tahan pada b laktamase. Misal : sefalotin, sefazolin, sefradin, sefaleksin, sefadroksil. Digunakan secara oral pada infeksi sal. kemih ringan, infeksi sal. pernafasan yang tidak serius

Generasi II Þ lebih aktif terhadap kuman gram negatif. Lebih kuat terhadap blaktamase. Misal : sefaklor, sefamandol, sefmetazol,sefuroksim

Generasi III Þ lebih aktif terhadap bakteri gram negatif , meliputi P. aeruginosa dan bacteroides. Misal : sefoperazone, sefotaksim, seftizoksim, sefotiam, sefiksim.Digunakan secara parenteral,pilihan pertama untuk sifilis

Generasi IV Þ Sangat resisten terhadap laktamase. Misal: sefpirome dan sefepim

c. Monobaktam

Dihasilkan oleh Chromobacterium violaceum Bersifat bakterisid, dengan mekanisme yang sama dengan gol. b-laktam lainnya.Bekerja khusus pada kuman gram negatif aerob misal Pseudomonas, H.influenza yang resisten terhadap penisilinase Contoh : aztreonam

3. Aminoglikosida

Dihasilkan oleh fungi Streptomyces & micromonospora.Mekanisme kerjanya : bakterisid, berpenetrasi pada dinding bakteri dan mengikatkan diri pada ribosom dalam sel Contoh : streptomisin, kanamisin, gentamisin, amikasin, neomisin

Penggunaan Aminoglikosida Streptomisin & kanamisin Þ injeksi pada TBC juga pada endocarditis,Gentamisin, amikasin bersama dengan penisilin pada infeksi dengan Pseudomonas,Gentamisin, tobramisin, neomisin juga sering diberikan secara topikal sebagai salep atau tetes mata/telinga,Efek samping : kerusakan pada organ pendengar dan keseimbangan serta nefrotoksik.

4. Tetrasiklin

Diperoleh dari Streptomyces aureofaciens & Streptomyces rimosus Meliputi : tetrasiklin, oksitetrasiklin, doksisiklin dan minosiklin (long acting) Khasiatnya bersifat bakteriostatik , pada pemberian iv dapat dicapai kadar plasma yang bersifat bakterisid lemah.Mekanisme kerja : mengganggu sintesis protein kuman Spektrum kerjanya luas kecuali thp Psudomonas & Proteus. Juga aktif thp Chlamydia trachomatis (penyebab penyakit mata), leptospirae, beberapa protozoa. Penggunaan : infeksi saluran nafas, paru-paru, saluran kemih, kulit dan mata. Namun dibatasi karena resistensinya dan efek sampingnya selama kehamilan & pada anak kecil.

5. sulfonamida

Merupakan antibiotika spektrum luas terhadap bakteri gram positrif dan negatif. Bersifat bakteriostatik. Mekanisme kerja : mencegah sintesis asam folat dalam bakteri yang dibutuhkan oleh bakteri untuk membentuk DNA dan RNA bakteri. Kombinasi sulfonamida : trisulfa (sulfadiazin, sulfamerazin dan sulfamezatin dengan perbandingan sama),Kotrimoksazol (sulfametoksazol + trimetoprim dengan perbandingan 5:1),Sulfadoksin + pirimetamin.

Penggunaan

è Infeksi saluran kemih : kotrimoksazol

è Infeksi mata : sulfasetamid

è Radang usus : sulfasalazin

è Malaria tropikana : fansidar

è Mencegah infeksi pada luka bakar : silver sulfadiazin

è Tifus : kotrimoksazol

è Radang paru-paru pada pasien AIDS : kotrimoxazol

Sebaiknya tidak digunakan pada kehamilan teruama trimeseter akhir Þ icterus, hiperbilirubinemia

6. KUINOLON

Berkhasiat bakterisid pada fase pertumbuhan kuman, dgn menghambat enzim DNA gyrase bakteri sehingga menghambat sintesa DNA.

Penggolongan :

Generasi I Þ asam nalidiksat dan pipemidat digunakan pada ISK tanpa komplikasi Generasi II Þ senyawa fluorkuinolon misal siprofloksasin, norfloksasin, pefloksasin,ofloksasin.Spektrum kerja lebih luas, dan dpt digunakan u/ infeksi sistemik lain.

Zat-zat long acting Þ misal sparfloksasin, trovafloksasin dan grepafloksasin.Spektrum kerja sangat luas dan meliputi gram positif.

7. Makrolida

Meliputi : eritromisin, klaritromisin, roxitromisin, azitromisin, diritromisin serta spiramisin Bersifat bakteriostatik.Mekanisme kerja : pengikatan reversibel pada ribosom kuman, sehingga mengganggu sintesis protein.Penggunaan : merupakan pilihan pertama pada infeksi paru-paru

8. Linkomisin

Dihasilkan oleh : Streptomyces lincolnensis Sifatnya : bakteriostatis Meliputi : linkomisin dan klindamisin. Spektrum kerja lebih sempit dari makrolida terutama thp gram positif dan anaerob.Penggunaan : aktif terhadap Propionibacter acnes shg digunakan secara topikal pada acne

9. Polipeptida

Berasal dari Bacillus polymixa.Bersifat bakterisid berdasarkan kemampuannya melekatkan diri pada membran sel bakteri sehingga permeabilitas meningkat & akhirnya sel meletus.Meliputi : Polimiksin B dan polimiksin E (colistin), basitrasin dan gramisidin.Spektrumnya sempit, polimiksin hanya aktif terhadap bakteri gram negatif. Sebaliknya Basitrasin dan gramisidin aktif thp kuman gram positif.Penggunaan : Karena sangat toksis pada ginjal dan organ pendengaran, maka penggunaan secara sistemik sudah digantikan, lebih banyak digunakan sebagai sediaan topikal (sebagai tetes telinga yang berisi polimiksin sulfat, neomisin sulfat, salep mata/tetes mata yang berisi basitrasin, neomisin

10. Antibiotika Lainnya

KLORAMFENIKOL

Bersifat bakteriostatik thp Enterobacter & S. aureus berdasarkan perintangan sintesis polipeptida kuman Bersifat bakterisid thp S. pneumoniae, N. meningitidis & H. influenzaePenggunaannya secara oral, sejak thn 1970-an dilarang di negara barat karena menyebabkan anemia aplastis. Sehingga hanya dianjurkan pada infeksi tifus (salmonella typhi) dan meningitis (khusus akibat H. influenzae)Juga digunakan sebagai salep 3% tetes/salep mata 0,25-1%.Turunannya yaitu tiamfenikol.

Vankomisin

Dihasikan oleh Streptomyces orientalis.Bersifat bakterisid thp kuman gram positif aerob dan anaerob.Merupakan antibiotik terakhir jika obat-obat lain tidak ampuh lagi

dari :
1. http://dprayetno.wordpress.com/antibiotik/
2.http://every-thinks.blogspot.com/2010/01/antibiotik.html

RATIONAL USE OF MEDICINE (RUM)

Purnamawati S Pujiarto Dr SpAK, MMPed


Yayasan Orang Tua Peduli
Drugs are much too serious a thing
to be left to the medical profession and the pharmaceutical industry G.
Cannon

Semua orang dalam hidupnya suatu saat pasti membutuhkan obat, termasuk tenaga medis. Semua orang, termasuk pemberi jasa layanan kesehatan (provider) adalah konsumen. Semua orang butuh dan berhak memperoleh layanan kesehatan yang TERBAIK.

Di lain sisi, apakah semua gangguan kesehatan harus senantiasa dijawab dengan obat? Apakah ketika anak sakit, solusinya harus peresepan sederet obat dalam bentuk puyer?

Memang, tidak sedikit konsumen yang beranggapan bahwa konsultasi medis adalah kunjungan berobat” alias upaya meminta obat. Uniknya, meminta obat ini sudah seolah terpatri, harus” cespleng dan harus” puyer. Ironisnya lagi, anak merupakan populasi yang paling terpapar pada pola pengobatan yang tidak rasional antara lain pemberian antibiotika dan steroid yang berlebihan, serta polifarmasi. Padahal, gangguan kesehatan harian pada anak umumnya merupakan penyakit ringan yang sifatnya self limiting”. Demam, diare akut, batuk pilek, dan radang tenggorokan, merupakan kondisi yang umumnya ditangani dengan antibiotika. Keempat kondisi tersebut juga peresepannya polifarmasi.

Padahal, ketika orang dewasa mengalami gangguan yang sama, peresepan obatnya lebih ramping”
ketimbang buat anak. Padahal, di dalam kamus bahasa Indonesia, konsultasi medis adalah perundingan antara pemberi dan penerima layanan kesehatan untuk mencari penyebab terjadinya penyakit & untuk menentukan cara-cara pengobatannya. Singkatnya, konsultasi medis adalah upaya advocacy, upaya berbagi informasi, upaya meminta penjelasan dan kejelasan. Namun demikian, siapa yang paling berperan terhadap terpaterinya pola pikir sakit = obat, obat = puyer (kalau mau murah, praktis dan cespleng”)? Barangkali, sudah waktunya kita merenungkan kembali praktek keseharian kita di lapangan. Membuka hati, karena kita ingin senantiasa memberika yang TERBAIK buat bangsa ini. Waktunya pun terasa cocok karena sudah semakin banyak konsumen yang memahami bahwa konsultasi medis tidak selalu berarti obat, keputusan klinis tergantung penyebab gangguan kesehatan yang tengah dialami si konsumen.

Tulisan ini merupakan bagian dari upaya perenungan dan upaya berbagi terkait konsep pola pengobatan yang rasional, yag sudah lebih dari 20 tahun di canangkan.
Diawali dengan beberapa cuplikan termasuk dari beberapa guru yang saya hormati dan kagumi semangat dedikatifnya bagi pasien-pasien kita tercinta.


PENINGKATAN MUTU PENGGUNAAN OBAT DI PUSKESMAS MELALUI PELATIHAN BERJENJANG
PADA DOKTER DAN PERAWAT


Iwan Dwiprahasto; Bag Farmakologi & Toksikologi FK, UGM Yogyakarta

Berbagai studi menemukan bahwa penggunaan obat untuk ISPA cenderung berlebih.
Penyebab pertama, keterbatasan pengetahuan petugas kesehatan mengenai bukti-bukti
ilmiah terkini, sehingga tak jarang tetap meresepkan obat yang tak diperlukan (misal antibiotika dan steroid untuk common cold). Kedua, keyakinan dan perilaku pasien.

Contoh, kebiasaan memberikan injeksi pada pasien dengan gejala pada otot-sendi.
43 puskesmas ikut dalam penelitian. Jumlah ratarata obat yang diresepkan untuk
ISPA anak dan dewasa, yaitu 3.62 dan 3,69. Pasien myalgia mendapat rata-rata
3.24 jenis obat. Di sebagian besar kabupaten penggunaan antibiotika untuk ISPA
mencapai lebih dari 90%. Hanya beberapa puskesmas yang meresepkan antibiotika
kurang dari 70%.

Tujuan penelitian
(1) menilai pola peresepan ISPA dan myalgia di puskesmas di 8 kab/kota, SumBar (data peresepan retrospektif), dan
(2) meningkatkan mutu

penggunaan obat untuk ISPA dan myalgia (dilakukan intervensi pelatihan penggunaan
obat rasional, melibatkan dokter dan perawat di 15 puskes).
Enam bulan pasca intervensi, penggunaan obat termasuk antibiotika dan injeksi menurun bermakna. Rata-rata jumlah obat untuk ISPA pada anak turun dari 3.74 + 0.58 menjadi 2.47 + 0.67 (p<0.05) (dokter) dan dari 3.67 + 0.49 menjadi 2.39 + 0.73 (p<0.05) (perawat). Penurunan penggunaan antibiotika pada anak dengan ISPA secara bermakna hanya ditemukan pada perawat, dari 81.37% menjadi 42.40%.

Proporsi pasien dewasa dengan ISPA yang mendapat antibiotika Turun bermakna dari 89.18% menjadi 44.15% (p<0.05) (dokter) dan dari 91.22% menjadi 38.71% (p<0.05) (perawat). Penggunaan injeksi juga turun bermakna pada pasien myalgia, yaitu dari 69.11% menjadi 31.89% (p<0.05) (dokter) dan dari 79.56% menjadi 62.91% (p<0.05) (perawat).

Rabu, 22 November 2000: Obat, Komoditas atau Produk Karitas?

OBAT itu unik. Ia adalah komoditas ekonomi komersial tetapi sekaligus produk yang lekat dengan fungsi sosial, penyelamat nyawa manusia. Obat memag telah lama menjadi bahan perdebatan tak berkesudahan. Otoritas meresepkan obat yang diberikan kepada profesi kedokteran terbukti kerap disalahgunakan, menimbulkan pengobatan yang irrasional yang merugikan konsumen, namun memperkaya para dokter dan industri farmasi.

Ivan Illich (Medical Nemesis: Expropriation to Health, 1975) mengkritik institusi
dan industri medis yang membuat manusia tak lagi memiliki otonomi atas kesehatannya
sendiri. Dunia medis justru menciptakan “kesehatan” menjadi “kesakitan”.
“Industri kesehatan telah menjadi ancaman besar terhadap kesehatan.”

Buku-buku lain yang menggugat kemapanan “kolusi” industri dan para dokter ditulis Dianna Melrose (Bitter Pills-Medicines and the Third World Poor, 1982), Milton Silverman (Prescription for Death-The Drugging of the Third World, 1982), Charles Medawar (The Wrong Kind of Medicines?, 1984), John Braithwaite (Corporate Crime in the Pharmaceutical Industry, 1984), hingga pengarang novel Arthur Hailey (Strong Medicine, 1984). ………

Khusus tentang obat-obat generik bermerek, di Indonesia jumlahnya paling banyak.
Obat-obat ini berhasil membangun citra seolah-olah seperti obat paten. Ada nilai
tambah dengan kemasan yang baik, merek yang keren, serta biaya promosi yang tidak kecil.

Obat, kecil skala ekonominya. Namun, keuntungan yang diraih luar biasa besar.
Di Amerika Serikat, menurut survei majalah Fortune, 12 perusahaan farmasi termasuk
dalam kelompok 50 perusahaan yang menghasilkan keuntungan paling besar. Padahal
tidak satu pun yang omsetnya besar. Di Indonesia, ada perusahaan farmasi PMA mematok harga obat lebih tinggi daripada di Kanada dan banyak negara kaya. Ini karena praktik transfer pricing ke perusahaan induk. Sementara perusahaan farmasi swasta nasional juga pesta pora obat generik bermerek yang sebenarnya obat latah (me-too drugs) yang margin keuntungannya jauh lebih besar ketimbang obat paten PMA sehingga mereka leluasa mengontrak dokter.
Apakah masih layak menyebut obat dan dokter itu penyelamat? (ij)

Obat Rasional, Kuncinya Dokter

PROFESI kedokteran ditantang untuk mau dan mampu melakukan audit profesi dan audit kerasionalan preskripsi. Sampurno berharap masalah ketidakrasionalan penggunaan
obat dapat diatasi, sehingga dampak negatifnya dapat dihindari, antara lain meningkatnya inefisiensi biaya pengobatan dan terjadinya efek obat yang tidak
diharapkan. Ia mengusulkan 3 agenda aksi untuk meningkatkan penggunaan obat yang rasional.

Pertama, pendekatan edukasi: Konsep obat esensial dan aplikasinya serta pendidikan preskripsi yang rasional RS pendidikan punya tanggung jawab etis terhadap masyarakat untuk mempromosikan preskripsi yang rasional melalui contoh konkret dari para staf pengajarnya. “Sayangnya, justru di Indonesia rumah sakit pendidikan adalah tempatnya mengajarkan preskripsi yang tidak rasional”.

Agenda aksi kedua adalah skim manajerial: melalui siklus pengadaan obat. DOEN yang diimplementasikan secara konsisten dan diikuti dengan baik oleh setiap tingkat pelayanan kesehatan. Estimasi pengadaan obat harus didasarkan pada morbiditas (angka kesakitan), bukan atas dasar penggunaan sebelumnya. Agenda aksi ketiga, intervensi regulasi. ………

Jumlah dan merek obat yang terus bertambah (sekitar 10.000 merek atau bentuk sediaan), bukan soal mudah bagi seorang dokter untuk menjatuhkan pilihan. Menurut
Prof Iwan, dalam proses pemilihan ini dokter mudah dipengaruhi produsen. Sering
pilihan dokter jatuh pada preparat yang kurang efektif atau yang malahan merupakan
plasebo (obat bohong) dan substandar yang seringkali jauh lebih mahal dibanding obat-obat lama yang telah terbukti keampuhannya. Di tengah rimba belantara ribuan
merek obat, dokter harus mempelajari sifat obat yang lama dan yang baru secara terus-menerus seumur hidup.

From: http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=1116
Pengukuhan Prof Iwan Dwiprahasto: “Tradisi Menulis Resep Obat Perlu
Dikoreksi” (“Farmakoterapi Berbasis Bukti: Antara Teori dan Kenyataan”).

Kurangnya informasi terhadap bukti ilmiah baru tentang obat dan farmakoterapi
tampaknya tetap menghantui kalangan professional kesehatan di negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Meskipun hampir semua jurnal biomedik dan buku-buku
teks kedokteran telah tersedia dalam bentuk elektronik…. tenaga kesehatan dikhawatirkan semakin jauh dari konsep-konsep farmakoterapi berbasis bukti yang
mutakhir.

Ironisnya, kelemahan inilah yang dimanfaatkan duta-duta farmasi sebagai peluang
dan secara gencar membanjiri para dokter dengan informasi-informasi tentang obat mereka. Sayang, informasi ini umumnya unbalanced, cenderung misleading atau dilebih-lebihkan, dan berpihak pada kepentingan komersial.

“Penggunaan informasi seperti ini sangat beresiko dalam proses terapi,”
ungkap Prof dr Iwan Dwiprahasto MMedSc PhD, Senin (7/1) …Wakil Dekan Bidang
Akademik & Kemahasiswaan FK UGM saat dikukuhkan sebagai Guru Besar FK UGM.
Ketua Komite Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan RSUP Dr Sardjito. Keterbatasan
informasi ini menjadikan off-label use of drug sangat marak dalam praktek sehari-hari.

Off-label use adalah penggunaan obat di luar indikasi yang direkomendasikan.
Obat yang sering digunakan secara off label antara lain antihistamin, antikonvulsan,
antibiotika, serta obat flu dan batuk. Berbagai obat kardiovaskuler pun sangat
sering digunakan secara off label, antara lain antiangina, antiaritmia, dan
antikoagulan.” Berbagai penggunaan obat di luar dosis yang direkomendasikan,
termasuk pula dalam katagori ini. Banyak praktek-praktek kefarmasian di apotek
tergolong off label use.

“Menggeruskan tablet untuk dijadikan puyer, kapsul, bahkan sirup untuk
sediaan anak, atau menggeruskan tablet atau kaplet untuk dijadikan saleb dan
krim adalah bentuk off label use yang jamak ditemukan. Hal itu terjadi secara
turun menurun, berlangsung puluhan tahun tanpa ada yang sanggup menghentikannya.”

LANJUTAN

Melestarikan penyimpangan, menikmati kekeliruan, dan mengulang-ulang kesalahan
tampaknya sudah menjadi hedonisme peresepan. Yang satu mengajarkan dan yang lain mengamini sambil menirukan. Itulah cara termudah untuk mendiseminasikan informasi yang tidak berbasis bukti.”

Menulis resep, seolah telah menjadi tradisi ritual yang tidak bisa dikoreksi.
Tulisan yang sulit dibaca seolah menjadi bagian dari sakralisasi peresepan.
“Padahal bahaya mengintai dimana-mana. Kebiasaan keliru menuliskan aturan
resep 3 kali sehari (signa 3 dd 1) seharusnya mulai ditinggalkan dan diganti
menjadi diminum tiap 8 jam. Pun dengan obat yang diberikan 2 kali sehari, seharusnya
bisa ditulis tiap 12 jam dan seterusnya.

“Menulis resep dalam bentuk campuran (beberapa jenis obat digerus dijadikan
satu sediaan puyer atau sirup) perlu untuk segera dikoreksi, karena termasuk
off label use. Jika praktek-praktek primitive semacam itu tetap dipertahankan,
maka keselamatan pasien (patient safety) tentu akan jadi taruhannya,” tandasnya.

Prof Iwan mengajak para professional kesehatan untuk senantiasa mengacu pada
bukti-bukti ilmiah terkini. “Keeping up to date” bukanlah sekedar
slogan tapi merupakan prasyarat fundamental dalam implementasi Evidence Based
Medicine (EBM).

ERA INFORMASI DAN TRANSPARANSI

Era informasi ini telah menggulirkan pergeseran di berbagai aspek kehidupan termasuk aspek kesehatan khususnya di sisi pengetahuan dan kesadaran kesehatan.
Khalayak umum dengan mudah memperoleh akses ke pengetahuan kesehatan; kemudahan
ini seperti mengisi kehausan ilmu kaum muda Indonesia yang sudah semakin menyadari
haknya dan sudah mulai memposisikan dirinya sebagai konsumen. Tercermin dari semakin meningkatnya upaya masyarakat dalam membekali diri dengan pengetahuan kesehatan meski mereka tidak memiliki komputer sekalipun. Era informasi ini merupakan anugerah karena dengan biaya murah kita bisa memilih situs yang reliable”.

Mereka juga mencermati iklim layanan kesehatan baik di luar Indonesia dimana
konsumen terbukti berhasil membantu mewujudkan iklim layanan kesehatan yang
lebih baik dan rasional. Mereka juga gencar mencari dan berbagi informasi perihal
siapa-siapa saja dokter yang RUD. Dan ketika mereka datang membawa print out
artikel dan guideline, ketika pasien sudah memahami tatalaksana harus sesuai
EBM dan guideline nya, lalu bagaimana dokter menyikapi fenomena dan kondisi
seperti ini? Aplikasi guidelines dalam praktek sehari-hari cepat atau lambat
akan membantu mengangkat citra profesionalisme kita sebagai tenaga medis.
Di lain pihak, tenaga kesehatan asing sudah berdatangan masuk ke Indonesia.
Mmapukah kita bersaing menghadapi serbuan” ini? Apakah para pemberi jasa
layanan kesehatan memahami perubahan pasar” lalu mampu tetap tegak dan
profesional di tengah persaingan global?


EBM, EBP, DAN GUIDELINES

EBM adalah landasan penyusunan guidelines dalam rangka membuahkan praktek pengobatan yang rasional atau EB practices. Secara filosofis, tujuan EBM adalah peningkatan mutu layanan kesehatan bagi pasien karena EBM berawal dari pasien dan berakhir dengan pasien. Banyak sekali alasan mengapa kita butuh EBM. Pertama, agar ilmu pengetahuan kita senantiasa up to date. Dengan bertambahnya jam terbang, terbukti bahwa pengetahuan kita mengalami kemerosotan meski mungkin kemampuan (skill) meningkat. Ilmu kedokteran terus berkembang dengan pesat dan terus berubah dan kita sering tak bisa mengetahui informasi terkini secara tepat waktu alias … selalu kedodoran! Perkembangan obat yang pesat bisa membuat kita tanpa sadar belum memberikan yang terbaik untuk pasien-pasien kita. Oleh karena itu, EBM merupakan upaya untuk melakukan the right thing in the right way; melakukan the best for our patients.

Teknis praktisnya (EBP)? Ketika kita dihadapkan pada seorang pasien, langkah pertama adalah menerjemahkan semua gejala pemeriksaan fisik dan keluhan menjadi suatu pertanyaan klinis dalam 2 bentuk yaitu
(1) pertanyaan mendasar (4W dan 1H) serta
(2) pertanyaan yang lebih spesifik (terdiri dari 4 komponen yaitu PICO atau

a. Patient,
b. Intervention,
c. Comparison,
d. Outcome

Langkah kedua, Menerjemahkan pertanyaan di atas menjadi suatu upaya pencarian bukti yang terkuat/terbaik. Ini membutuhkan pengetahuan IT medis serta metodologi penelitian dan statistik sehingga tahu harus mencari kemana (mengetahui bagaimana
mencari evidence based resources, Medline, dll) untuk diagnosis, terapi, prognosis,
serta harm/casualty nya.

Langkah ketiga, menelaah evidence di atas secara kritis (critical appraisal)
terkait kualitas dan manfaatnya melalui telaah validitas, reliabilitas, relevansi
serta clinical importance nya.

Kuasai kekuatan evidence (level 1 s/d 5, dan kita pun akan senantiasa diingatkan
bahwa ecpert opinion memiliki kekuatan yang sangat lemah apalagi testimoni).
Guidelines.

Clinical practice guidelines are systematically developed statements
that aim to help physicians and patients reach the best health care decisions.
Good guidelines have many attributes, including validity, reliability,
reproducibility, clinical applicability and flexibility, clarity, development
through a multidisciplinary process, scheduled reviews, and documentation.
More than 2000 guidelines are currently represented in the National Guideline
Clearinghouse (www.guideline.gov).

Guidelines disusun berdasarkan evidence dan experience. Guideline merupakan
suatu rekomendasi tatalaksana suatu kondisi klinis. Guideline berhasil
menstandarisasi layanan kesehatan, mengurangi variasi lokal, dan memperbaiki
health outcomes (termasuk prognosis). Contoh guideline yang baik misalnya
dari USA adalah panduan imunisasi ACIP, STD dari CDC; dari UK, guideline
buatan NICE; dan tentunya guideline dari WHO. Untuk anak, AAP, BMJ dengan
clinical evidence nya, dan RCH.

Data WHO tahun 2004 yang dipresentasikan di ICIUM Thailand menunjukkan bahwa
tingkat kepatuhan terhadap standard guideline (STG) penanganan diare akut sangat
rendah di belahan Asia Tenggara. Di sektor publik hanya 39% sedangkan di sektor
swasta jauh lebih rendah lagi yaitu 17%. Studi pendahuluan pola peresepan pada
4 kondisi harian pediatri (n = 160) menunjukkan tidak ada satupun yang ditangani
sesuai guideline”.

POLA PENGOBATAN RASIONAL, KONSULTASI MEDIK.

Mari kita ambil contoh, bayi diare. Penyebab utamanya adalah infeksi virus dan obatnya adalah cairan rehidrasi oral (oralit) untuk mencegah dehidrasi.
Dokter memberi informasi perihal penyebab, tatalaksana, dan risiko komplikasi.
Dokter menyatakan bahwa diare akan sembuh sendiri, tidak ada obat yang diperlukan
selain cairan rehidrasi oral. Dengan demikian, konsultasi medis tidak senantiasa
harus diakhiri dengan penulisan secarik kertas resep. Nasehat dokter yang profesional
juga suatu bentuk obat”. Pada dasarnya, tidak banyak gangguan kesehatan yang tatalaksananya harus berupa pemberian obat (di makalah terdahulu sudah dikemukakan bahwa ada 5 bentuk terapi; pemberian obat hanyalah salah satunya).
Ketika butuh obat, banyak sekali faktor yang berperan dalam peresepan obat.

Selain effectiveness, faktor keamanan merupakan salah satu faktor utama yang
melandasi konsep pola pengobatan rasional (rational use of drugs/RUD). Di lain
pihak, faktor utama yang menentukan pelaksanaan RUD ini adalah kebijakan peresepan
obat yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Antara lain regulasi obat, pendidikan
kedokteran, informasi dan pengetahuan pola peresepan yang baik, industri farmasi,
serta kondisi sosio-kultural setempat. Semua saling terkait.

RUD adalah pola pemberian obat yang tepat yaitu pemilihan obat yang sesuai dengan
diagnosis penyakitnya, tepat konsumsinya, tepat dosisnya, tepat jangka waktu
pemberiannya, dan aman, dengan harga semurah mungkin serta dengan pemberian informasi yang obyektif. Singkatnya, pola pemakaian obat yang aman dan efektif
(cost-effective), efisien dengan good outcome. Pendekatannya sesuai alur di
bawah:

1.Pasien dan permasalahannya. Dokter harus mengumpulkan data perihal perjalanan
penyakit dan pengobatan yang pernah diperoleh pasien.
2.Diagnosis: diagnosis tepat atau akurasi tinggi. Bila tidak memungkinkan,
setidaknya ada diagnosis perkiraan untuk selanjutnya dikonfirmasi dengan pemeriksaan
penunjang (laboratorium, pemeriksaan radiologis, dan sebagainya).
3.Tujuan terapi: dipengaruhi jenis penyakit dan keparahannya. Secara garis
besar tujuan adalah kesembuhan atau berkurangnya/hilangnya gejala/keluhan.

4.Pemilihan obat. Dilakukan dalam dua tahapan berikut:
- Menetapkan obat yang akan dipilih dengan catatan, hanya sebagian gangguan
kesehatan yang memang membutuhkan obat. Nasehat yang profesional juga obat.
Tidak jarang, ketika pasien tidak membutuhkan obat, dokter tetap memberikan
resep misalnya suplemen atau imunomodulator.
- Dari berbagai obat yang tersedia di tahap pertama di atas, dilakukan kajian
dari berbagai aspek yaitu efektivitas, keamanan, suitability, biaya, kemudahan
pemberiannya, serta persyaratan penyimpanannya. Pada anak misalnya, sirup tentunya
lebih suitable ketimbang puyer (belum lagi bicara soal stabilitas obat di udara
tropis). Dari sisi efektivitas versus biaya, obat generik tentunya menjadi pilihan
ketimbang obat bermerek. Ketika membutuhkan antibiotik, tentunya dipilih yang
sesuai target yang dibidik.
5. Terapi dimulai: Dokter meresepkan obat; memberi penjelasan manfaat dan efek
samping obat serta tindakan seandainya terjadi reaksi efek samping obat.
- Hasil terapi: Dokter melakukan penilaian terhadap terapi yang sudah dilakukan
agar dapat menyimpulkan hasilnya.
- Kesimpulan terapi: Dokter menilai tercapai tidaknya tujuan terapi. Bila tujuan
tidak/belum tercapai, dokter meninjau kembali akurasi diagnosis serta mengevaluasi
kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi.

Menentukan permasalahan. Berdasarkan rangkaian langkah yang harus dilakukan sebelum sampai pada langkah penatalaksanaan adalah menentukan permasalahan dan penyebabnya. Keduanya ini merupakan fondasi pelaksanaan pola pengobatan yang rasional. Contoh sederhana adalah ketika seorang anak batuk; kita tahu bahwa batuk adalah gejala dan langkah pertama adalah mencari penyebabnya sehingga dokter dapat menentukan diagnosisnya dan atas dasar diagnosis tersebut baru ditetapkan tatalaksananya.

Institute of Medicine: According to the

committees vision (see box), the FDA must embrace a culture of safety in which the risks and benefits of medications are examined during their entire market life. This so called life-cycle approach would entail evaluating risks in the context of benefits, sustaining attention to both efficacy and safety after approval, and advancing and protecting the health of the public. Risk benefit analyses would highlight key areas of uncertainty. The careful design and conduct of post-marketing studies would help to resolve uncertainties as drug use expanded.

POLA PENGOBATAN TIDAK RASIONAL (IRUD)

Pola pengobatan yang tidak rasional adalah pola pengobatan yang tidak mengikuti
kaidah pengobatan rasional. Dari berbagai studi, bentuk utama IRUD adalah:
- polifarmasi (pemberian beberapa obat sekaligus pada saat yang bersamaan pada
kondisi yang tidak memerlukan beberapa obat sekaligus)
- pemberian antibiotika yang berlebihan
- pemberian steroid yang berlebihan
- tingginya tingkat pemakaian obat non generik
- tingginya tingkat pemakaian obat injeksi
- tingginya tingkat pemakaian obat” yang sebenarnya tidak dibutuhkan (off label use).

Termasuk di dalam kategori off label use adalah pemberian antibiotik untuk infeksi virus seperti diare akut dan ISPA, pemberian steroid untuk batuk pilek ISPA.

Contoh lain misalnya, pemberian suplemen, vitamin, antihistamin
untuk common colds/flu, bronkodilator untuk batuk pada ISPA, dsb nya.

Penelitian pola peresepan pediatri di India menunjukkan bahwa 83,9% peresepan
yang tidak rasional dilakukan oleh sektor swasta. Sebesar 52,7% peresepan terdiri
dari 3 obat atau lebih. Empat puluh persen meresepkan suplemen dan tonikum.
Lebih dari 90% meresepkan obat bermerek (branded generic). Kesimpulan mereka,
Private practitioners prescribed significantly greater number of medicines and
were more likely to prescribe vitamins and antibiotics, and branded medicines.
Yayasan Orang Tua Peduli (YOP) melakukan 2 penelitian cross sectional dengan mengumpulkan resep yang di email ke mailing list kami, penelitian kedua, mengumpulkan resep dan kwitansi yang dikirim ke markas YOP.

Resep yang ditelaah adalah resep untuk anak dengan 4 kondisi
yaitu batuk pilek demam (ISPA), demam, diare akut (dengan atau tanpa muntah),
dan batuk tanpa demam lebih dari 1 minggu. Berikut ini ringkasan penelitian
pertama dengan responden 160 anggota mailing list.

Jumlah obat. Median jumlah obat yang diresepkan adalah 5 (dengan rentang
2 – 11 obat). Batuk merupakan kondisi yang jumlah obat dalam peresepannya
paling tinggi yaitu 11 obat. Dengan tingkat peresepan puyer sebesar 55,4%
pada diare akut, 72,6% pada demam, 77,4% pada ISPA, dan 87% pada batuk.

Antibiotik. Tingkat pemberiannya paling tinggi pada anak demam yaitu 87% disusul dengan diare 75%, ISPA 54,5%, dan pada anak batuk tanpa demam sebesar 47%.
Generik. Tingkat peresepannya sangat rendah yaitu 0% pada kasus demam, 5% pada diare akut, 7% pada ISPA dan 10,5% pada batuk tanpa demam.

Steroid. Pada batuk sebesar 60,9%, pada ISPA sebesar 50,9%; sebesar 53,5% pada demam dan bahkan 18,5% anak diare diberi steroid (umumnya triamnisolon).
Tingginya tingkat pemberian steroid juga sangat memprihatinkan yang sebetulnya
tidak akan terjadi apabila bekerja sesuai guideline”.

Tambahan.

Peresepan suplemen (multivitamin, ensim, perangsang nafsu makan”, atau imunomodulator”, cukup tinggi yaitu 21,4 % pada ISPA, pada demam 34,9%, pada batuk 2,4% dan paling tinggi pada diare yait6u 61,9%.

Biaya.
Pada ISPA, Rp 15,000 – Rp 747,000; median 117.500;
Pada demam Rp 20.800 – Rp 137.000, maksimum Rp 326,000;
Pada diare akut Rp 56.000 – 161.000, maksimum Rp 349.000. A

nalisis biaya pada peresepan pediatri di Jakarta menunjukkan tingginya biaya ketika dokter tidak bekerja sesuai guideline. Padahal, biaya bukan sekedar rupiah. Harm” atau potential harm” juga biaya.

ONGKOS. Di Indonesia, pengeluaran terbesar untuk antibiotics (63% dari pengeluaran/ongkos ISPA), disusul dengan obat batuk-pilek, analgesik. Di sektor publik, biayanya kurang lebih Rp 512 Rupiahs per kasus (padahal biaya sesungguhnya hanya Rp 153 per kasus apabila ditangani sesuai guideline). Biaya obat untuk diare dan ISPA adalah 68% dari total biaya layanan kesehatan untuk balita dan 38% pada anak
di atas 5 tahun alias 36% total belanja kesehatan untuk obat.

SEPUTAR OBAT SIMTOMATIK FLU DAN COLDS:

• Chlorpheniramine or doxylaminine reduced runny nose and sneezing
after 2 days compared with placebo, but the clinical benefit was small.
Another review, found no significant difference in overall cold symptoms
at 1–10 days between antihistamines and placebo

• Some non-sedating antihistamines are associated with arrhythmias
and adverse interactions with other drugs.

• Compared with placebo, decongestants (norephedrine, oxymetazoline,
pseudo-ephedrine) reduced nasal congestion over 3–10 hours after
a single dose, but found insufficient evidence to assess the effects of
longer use of decongestants.

• Decongestants provide short-term relief of nasal obstruction
for adults, but may not work in children. Oral or nasal decongestants
are often used, but evidence that they work is scanty. Well-conducted
trials show that single doses are moderately effective. There is insufficient
evidence to show whether repeated doses are effective, or whether single
or repeated doses WORK IN CHILDREN UNDER THE AGE OF 12. Link: http://www.cochrane.org/reviews/english/ab001953.html

• No convincing evidence that anti-histamines, when used alone,
can relieve the cold. In combination with decongestives, antihistamines
might lead to some relief from a blocked and/or runny nose although there
is not enough evidence to be certain. Link: http://www.cochrane.org/reviews/english/ab001267.html
Makers of OTC Cough and Cold Medicines Announce Voluntary Withdrawal
of Oral Infant Medicines www.chpa-info.org
The branded cough and cold medicines that are being voluntarily withdrawn
are:

• Dimetapp® Decongestant Plus Cough Infant Drops
• Dimetapp® Decongestant Infant Drops
• Little Colds® Decongestant Plus Cough; Little Colds® Multi-Symptom
Cold Formula
• PEDIACARE® Infant Drops Decongestant (containing pseudoephedrine)

• PEDIACARE® Infant Drops Decongestant & Cough (containing
pseudoephedrine)
• PEDIACARE® Infant Dropper Decongestant (containing phenylephrine)

• PEDIACARE® Infant Dropper Long-Acting Cough
• PEDIACARE® Infant Dropper Decongestant & Cough (containing
phenylephrine)
• Robitussin® Infant Cough DM Drops
• Triaminic® Infant & Toddler Thin Strips® Decongestant

• Triaminic® Infant & Toddler Thin Strips® Decongestant
Plus Cough
• TYLENOL® Concentrated Infants’ Drops Plus Cold
• TYLENOL® Concentrated Infants’ Drops Plus Cold & Cough

Apabila kita tilik isinya, obat jadi tersebut mengandung bahan aktif dekongestan.
Dengan demikian, pelajaran yang kita tarik dari kondisi di atas antara lain
adalah bahwasanya anak batuk pilek TIDAK usah dan tidak boleh diberi dekongestan.
Apakah itu dalam sediaan puyer ataupun dalam sediaan jadi (bermerek).

http://pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/121/4/783?maxtoshow=&HITS=10&hits=10&RESULTFORMAT=&fulltext=cold+

medicine&andorexactfulltext=and&searchid=1&FIRSTINDEX=10&sortspec=relevance&resourcetype=HWCIT
BACKGROUND. Adverse drug events in children from cough and cold medications
have been identified as a public health issue with clinical and policy
implications.

Nationally representative morbidity data could be useful
for targeting age-appropriate safety interventions.

OBJECTIVE. To describe emergency department visits for
adverse drug events from cough and cold medications in children.
METHODS. Emergency department visits for adverse drug events attributed
to cough and cold medications among children aged <12 years were identified
from

a nationally representative stratified probability sample
of 63 US emergency departments from January 1, 2004, through December
31, 2005.

RESULTS. Annually, an estimated 7091 patients aged <12
years were treated in emergency departments for adverse drug events from
cough and cold

medications, accounting for 5.7% of emergency department
visits for all medications in this age group. Most visits were for children
aged 2 to 5 years (64%).

Unsupervised ingestions accounted for 66% of estimated
emergency department visits, which was significantly higher than unsupervised
ingestions of other

medications (47%), and most of these ingestions involved
children aged 2 to 5 years (77%). Most children did not require admission
or extended observation (93%).

http://www.mayoclinic.com/health/cold-medicines/CC00083

Avoid cough suppressants and other cold medicines. Coughing helps clear
the mucus from your baby’s airway. For otherwise healthy babies, there’s
usually no reason to suppress it. In fact, the Centers for Disease Control
and Prevention warns against giving cough and cold medicines to children,
especially those younger than age 2 years. Cough and cold medicines haven’t
been proved effective for children — and for young children, an accidental overdose could be fatal.

Remember, over-the-counter pain relievers and cough and cold medicines
don’t kill the viruses that cause upper respiratory infections. And low-grade
fevers — which do help kill viruses — don’t need treatment.
If you give your baby an over-the-counter pain reliever, follow the directions
printed on the label.
What’s the concern about cough and cold medicines for kids?

Over-the-counter cough and cold medicines won’t cure a common cold or
make it go away any sooner. In fact, cough and cold medicines haven’t
been proved effective for children. And there are serious risks to consider.
For example, the sedating effects of antihistamines can be dangerous for
kids already having trouble breathing. For young children, an accidental
overdose of cough or cold medicine could be fatal.
The Food and Drug Administration (FDA) encourages parents to avoid cough
and cold medicines for children younger than age 2.

What if cough and cold medicines seemed to work for my child
in the past?
Chances are, your child’s signs and symptoms simply improved on their own — or the sedating effects of the medication made you think that your child was feeling better. Low-grade fevers don’t need treatment, and research shows that cough and cold medicines for kids are no more effective than a placebo.

Are cough and cold medicines a problem for children older than age 2?
Older children aren’t as likely as younger children to experience side
effects from cough and cold medicines, but side effects are still possible.
Some cough and cold medicines may make kids sleepy, while others may have
the opposite effect. Even then, remember that cough and cold medicines
can’t make a cold go away any sooner.
Experts from the FDA are studying the safety and effectiveness of cough and cold medicines for children older than age 2. In the meantime, if you choose to give cough or cold medicines to an older child, carefully follow the label directions.

CLINICAL EVIDENCE
• The evidence for effectiveness of over-the-counter (OTC) cough medicines is weak.
• Acute cough is a common and troublesome symptom in people who suffer from acute upper respiratory tract infection (URTI). Many people self-prescribe OTC cough
preparations and health practitioners often recommend their use for theinitial treatment of cough
• The results of this review: no good evidence for or against the effectiveness of OTC medications in acute cough.

• link: http://www.cochrane.org/reviews/english/ab001831.html

Source : http://www.cdc.gov/drugresistance/community/campaign_materials/Color/FactSheet-RunnyNose(color).pdf

Source : http://www.cdc.gov/drugresistance/community/campaign_materials/Black-White/VirusBacteriaChart(BW).pdf

BATUK
TRADE OFF BENEFITS & HARMS - Antibiotics
UNKNOWN EFFECTIVENESS - B2 agonist
- Antihistamines
- Antitussive, Expectorants

Buat anak, WHO menegaskan, pemberian obat penekan refleks batuk, TIDAK dianjurkan.

Radang tenggorokan – Clinical evidence: BMJ
Treating symptoms Likely to be beneficial NSAIDs, Parasetamol
Unlikely to be beneficial Antibiotik, steroid
Unknown effectiveness Probiotik
Preventing complications Trade off – benefits and risks Antibiotik

TONSILITIS
CLINICAL EVIDENCE:
• No clinically relevant
differences in the health related quality of life. The number of episodes
was lower in the surgical group in the first 6 months after operation but
from 6–24 months there was no difference between the groups. Adenotonsillectomy
seemed more beneficial in children with 3–6 throat infections a year
before entry into the trial than those with fewer episodes (difference:
–1.07, 95% CI –1.59 to –0.56 v +0.34, 95% CI –0.08
to +0.77. The authors concluded that adenotonsillectomy for mild symptoms
has little clinical benefit over watchful waiting and no discernable benefit
after 6 months.
• The risks of tonsillectomy include those associated
with general anaesthesia and those specific to the procedure (bleeding,
pain, otalgia, and, rarely, nasopharyngeal stenosis). The subsequent RCT
found that 16/203 [8%] children who had surgery suffered complications.

• In the smaller RCT (91 children), erythematous rashes occurred in
4% of children in the non-surgical group while taking penicillin.[4] Other
adverse effects of antibiotics include allergic reactions and the promotion
of resistant bacteria. One RCT found that, for people with milder episodes
of sore throat, the prescribing of antibiotics compared with no initial
prescription significantly increased the proportion of people who returned
to see their physician in the short term because of sore throat (716 people
with sore throat and an abnormal physical sign; return rate: 38% with initial
antibiotics v 27% without initial antibiotics; adjusted HR for return 1.39,
95% CI 1.03 to 1.89).

DIARE

Kaolin: Obat ini tidak perna masuk guideline tatalaksana diare akut. Bahkan
dari produsen nya sendiri menyatakan bahwa obat ini justru tidak boleh diberikan
pada infeksi E coli, salmonella, shigella, dan tidak boleh juga diberikan pada
diare yang ada darahnya serta bila ada kecurigaan obstruksi usus dan berbagai
kasus bedah lainnya. Kaolin juga dapat menimbulkan efek samping yang disebut
Toxic megacolon yaitu terkumpulnya dan terperangkapnya tinja di usus besar sehingga
racun-racun yang seharusnya dikeluarkan oleh tubuh kita akan meracuni tubuh
kita. Selain itu, baru-baru saja ada warning agar tidak memberikan Kaopectate
karena kandungan aspirin di dalamnya.
Pepto Bismol Warning
====================
Parents generally know that they shouldn’t give aspirin to their kids. There
are other medicines that contain salicylates, which are related to aspirin,
that you should also avoid. Their link to Reye’s syndrome is just theoretical
though. These include: Kaopectate & Pepto-Bismol
Also remember that the AAP, in the practice parameter: The management of
acute gastroenteritis in young children, makes the recommendation that ‘as
a general rule, pharmacologic agents should not be used to treat acute diarrhea’
and that ‘the routine use of bismuth subsalicylate is not recommended in
the treatment of children with acute diarrhea’.

BERBAGAI BENTUK IRUD

Polifarmasi. Salah satu contoh polifarmasi adalah pemberian puyer (racikan)
yang berisikan beberapa obat sekaligus untuk anak-anak dengan gangguan kesehatan
ringan harian seperti demam, batuk-pilek atau diare.
Pada suatu lokakarya RUD dikemukakan bahwa rerata jumlah obat di Pakistan adalah
3,6 obat/resep. Di Nigeria, 3,8 obat per pasien. Di Sudan, lebih dari 50% memperoleh
4 atau lebih obat per resep. Rerata obat balita (apapun diagnosisnya) adalah
3,58. Di Indonesia, suatu survey di Denpasar, menunjukkan 84,4% resep pediatri
mengandung lebih dari 4 kandungan aktif. Di Sumatera Barat, rerata obat yang
diberikan untuk anak ISPA adalah 3.69 obat. Sedangkan penelitian Depkes menunjukkan
bahwa rata-rata jumlah obat yang diberikan adalah 3,49.

Peresepan obat yang tidak perlu. Pada Technical briefing seminar WHO awal tahun
2004 perihal Kebijakan Obat Esensial dikemukakan bahwa di negara sedang berkembang,
jumlah obat yang diresepkan padahal sebenarnya tidak perlu diberikan sebesar
39 – 59%. Hal ini mencerminkan tingginya uang yang dibelanjakan untuk
obat sebenarnya tidak perlu dikeluarkan; sungguh suatu pemborosan.
Obat injeksi. Di negara sedang berkembang, persentase pemberian obat secara
injeksi (yang sebenarnya bisa diberikan secara oral) juga tinggi (20 –
76%).

Sebenarnya, tidak banyak pasien yang membutuhkan pemberian obat melalui suntikan. Selain itu, dipandang dari berbagai aspek, selama obat masih dapat diberikan secara oral, pemberian melalui suntikan banyak dampak negatifnya termasuk tingginya biaya karena pasien umumnya harus rawat inap di rumah sakit dan meningkatnya risiko efek samping obat, kemungkinan masuknya bakteria ke tubuh kita saat penyuntikan dilakukan, serta terusiknya rasa nyaman. WHO melaporkan bahwa sedikitnya 15 milyun penyuntikan per tahun di seluruh belahan dunia. Separuhnya mempergunakan jarum suntik yang tidak steril. Setiap tahun, tercatat 2,3 – 4,7 juta infeksi hepatitis B/C dan 160.000 infeksi HIV akibat pemberian obat melalui suntikan. Diskusikan dengan dokter bila dinyatakan perlu memperoleh obat suntikan.

Antibiotika. Di beberapa negara sedang berkembang, persentase peresepan antibiotika
yang sebenarnya tidak perlu diberikan sebesar 52% – 62%. Data yang terekam dari
Indonesia mencatat sedikitnya 43% antibiotika yang diberikan sebenarnya tidak
diperlukan. Mengingat luasnya Indonesia, tidak kecil kemungkinan adanya data
yang lolos dan tidak terekam. Penelitian di beberapa tempat di Sumbar menunjukkan
bahwa tingkat pemakaian antibiotika sebesar 90%. Sedikit sekali puskesmas yang
memberikan antibiotika kurang dari 70%. Tingkat penggunaan antibiotika untuk
balita mencapai 83% dan 60% pada mereka di atas 5 tahun.

Penelitian membuktikan bahwa setiap harinya, telah diresepkan jutaan antibiotika
bagi pasien dengan penyakit infeksi virus. K. Holloway di Technical Briefing
Seminar 2004 WHO Geneva, menyatakan bahwa 30 – 60% pasien memperoleh antibiotika;
padahal, sebenarnya hanya 10 – 25% saja yang memerlukannya. Indonesia
menempati urutan tertinggi dibandingkan Nepal dan Bangladesh.


PENYEBAB IRUD.
Menurut Dr Weerasurya salah satu pakar RUD dari WHO SEARO, antara lain karena:
1. Membanjirnya obat dalam jumlah yang sangat besar. Di pasaran, suatu produk
obat tertentu tersedia dalam ratusan bahkan ribuan macam. Dokter sulit memilih
suatu obat secara rasional dan independen dari ribuan pilihan tersebut.
2. Proses pengambilan keputusan oleh para dokter & farmasis. Secara garis besar, hal ini dipengaruhi oleh pengetahuan, kompetensi serta profesionalisme dokter dalam menghadapi pasien yang demanding” (misalnya selalu meminta antibiotika atau meminta obat yang manjur”) dan dalam menangkal promosi obat yang agresif.
3. Dispensing doctors.
4. Perilaku interventionist, dll

Suatu penelitian skala besar di beberapa negara maju menunjukkan sedikitnya
3 alasan mengapa para dokter cenderung agak “abusive” dalam pola peresepannya:
- LACK OF CONFIDENCE. Dokter sering “kurang percaya diri” untuk
menyata-kan bahwa penyakitnya disebabkan infeksi virus dan tidak memerlukan
antibiotika. Dokter juga bisa “cemas” pasien akan pindah ke dokter lain yang justru akan memberikan antibiotika; saat pasien sembuh ia akan menganggap antibiotikanya lah yang menyembuhkannya. Padahal, setiap penyakit memiliki pola perjalanan penyakit; saat berobat ke dokter kedua, penyakitnya diambang kesembuhan,
samasekali tidak ada hubungan dengan antibiotika yang diberikan.
- PATIENT PRESSURE. Tidak sedikit pasien yang meminta antibiotika atau menuntut
obat cespleng”.
- COMPANY PRESSURE. Tidak akan dibahas di bagian ini.


HARUS PUYER?

Ketika pertama kali melontarkan pertanyaan mengapa harus puyer”? Aneh,
mengapa harus dipertanyakan? Selama ini semua orang take it for granted”
bahwa resep (khususnya buat anak) adalah puyer. Puyer adalah bagian dari kultur”,
tradisi, tak terpisahkan dari dunia kedokteran di Indonesia. Puyer dianggap
yang terbaik dan paling tepat untuk Indonesia karena murah” (tetapi tidak
ada negara miskin lainnya yang memberikan peresepan puyer).

Puyer paling tepat buat Indonesia karena dosisnya bisa tepat (padahal dosis bisa kurat dengan apabila kita mempergunakan syringe” untuk mengukurnya. Puyer juga dianggap terbaik buat Indonesia karena sedikit sekali sediaan buat anak. Puyer juga paling tepat karena mudah” yaitu ketika anak butuh banyak obat (gagguan kesehatan harian tidak butuh banyak obat ketika kita kerjakan sesuai guidelinenya). Benarkah?
Di lain pihak, pasien Indonesia pun sudah menganggap (otomatis) bahwa anaknya
jauh lebih baik mengkonsumsi obat puyer.

Puyer harus ditinjau sedikitnya dari 2 aspek yaitu aspek
1. Good Manufaturing Practice (GMP/CPOB)
2. Good Prescribing Practice (GPP) dan EBMnya (lihat 6 langkah peresepan yang
benar di halaman 7)

Sebelumnya, kita tilik beberapa contoh komentar providers dan consumers terkait
puyer.

Ilustrasi di lapangan – PROVIDERS (ketika terjadi diskusi seputar
puyer)

Puyer dibuat dengan dasar pemikiran bahwa obat paten yg ada di pasaran tidak sesuai dengan kemauan dokter sehingga dokter memiih untuk meracik sendiri. Selain itu ada juga pemikiran bahwa pasien akan mendapat obat dengan harga lebih murah + manjur…. Tapi sekarang bukannya sudah banyak obat paten, selain itu banyak obat berarti lebih banyak efek samping, dan lagi…..masih ada puyer yg ternyata harganya selangit….sooooooooo ???

Merubah perilaku pemberian resep puyer juga tidak mudah, mulai dari pengajaran
saat kuliah di FK, bagian farmasi harus dilibatkan….. saat saya sekolah di FK pelajaran membuat puyer merupakan salah satu mata kuliah farmasi, gak tahu sekarang gimana??? Kemudian para guru dan guru besar yg mengajar di FK maupun Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) mesti juga memberi contoh, agar generasi penerus lebih baik.
Membuat teori jadi kenyataan di lapangan bukan hal yg mudah apalagi kalo pasiennya awam sekali…..membuat. Belum lagi pasien askeskin atau jamkesmas yg dapet jatah obat sangat terbatas” dan kurang memberikan perhatian pada obat anak sehingga hanya ada tablet untuk dewasa yg akhirnya dipuyerkan agar sesuai untuk anak. Paket obat anti tuberkulosa (TBC) untuk anak juga tidak memberi jatah yg cukup untuk masyarakat, OAT yg bentuk sirup atau tablet untuk anak harganya mahal, tak ada di askeskin.
Dr X: silahkan… mungkin punya solusi jitu ttg masalah puyer … barangkali
pabrik obat disuruh bikin obat kecil2 kaya permen berdasarkan berat badan
si bayi misalnya??

ttg tulisan di”prof” yang bilang dalam bentuk sirup apakah bisa juga menjamin dosis yang diminum bisa lebih “tepat” dibanding puyer mengingat satu sendok misalnya bisa tertumpah, tidak pas takarannya ataupun mengendap karena tidak dikocok sebelumnya.
dear all… menggerus obat… duuh rasanya di Indonesia aja nih yang masih pakai… ya agak susah sih memberantasnya… tunggu menkes turun tangan kali ya… tapi yang jelas… logikanya begini…..

Mortar itu permukaannya berbentuk pori pori kecil … dimana setiap habis menggerus serbuk obat tersimpan didalamnya dan sulit dibersihkan… kebayangkan kalau berkali kali digunakan mortarnya… berapa obat yang tertinggal di dalamnya… belum lagi obat itu kan proses pembuatannya steril begitu masuk mortar sudah tidak steril lagi…

Nah itu baru dari pembuatannya… belum lagi dari segi polifarmasi (poli = banyak) (farmasi = obat), satu obat saja efek sampingnya sudah macam macam apalagi kalau banyak…. dan belum lagi terjadi interaksi obat yaitu obat satu meningkatkan atau melemahkan kerja obat yang lain, meningkatkan risiko menjadi racun, meningkatnya risiko efek samping yang tidak diinginkan…. jadi … jangan mau ya kalau dikasih puyer…

Ilustrasi di lapangan – CONSUMERS

Seperti biasa anak – anak common cold, semua menganggap saya kebangeten nggak bawa ke dokter. Kadang saya berfikir saya bawa anak ke dokter karena tidak tahan pandangan orang atau tidak tahan anak batuk pilek, atau kurang sabar? Ketemu dokter langsung dituduh tidak memberikan ASI, duh senang juga ni dokter pro ASI, setelah itu sedih deh diresepin puyer, ditambah antibiotik ditambah vitamin. Saya langsung nanya kok puyer dok kan berbahaya. Puyer kan cuma ada di Indonesia. Dia bilang itu karena puyer paling sesuai dengan Indonesia (????) Jadi puyer termasuk kekayaan budaya kita ya??? Bulan depan aku mau ke dr. lagi, siapa tahu bulan depan beliau sudah tidak mau meresepkan puyer. Semoga ya…! Li…

Dear SP & doctors,

Saya punya dokter langganan yg cukup unik (menurut ukuran saya). Beliau ini kalo ngasih obat ke pasien, selalu dari obat2-an yg dia punya dgn jenis obat, jumlah maupun ukuran yg ber-variasi. Misalnya, 1 (satu) plastik berisi tablet A, kapsul B, setengah tablet C, dst., dan 1 plastik ini untuk (misalnya) dikonsumsi 3 kali sehari Uniknya (sekali lagi, ini menurut ukuran saya), si pasien-lah yg harus menggerus obat2an itu sendiri. Sebenarnya boleh nggak sih hal seperti ini dalam kode etik kedokteran?
Salam, Sa….

J1: Ikut urun rembug yah….. Yang saya tahu Pak…..dokter itu kalau ngasih obat ati2….. ndak lebih dari 2 baris atau 2 jenis obat….pun tidak di tumbuk…
Nah Pak…..kenapa ndak boleh di gerus…diuleg jadi satu…..alias puyer….
bahasa kerennya polifarmasi. Kenapa ndak boleh…lebih banyak mudhorotnya
Pak.

Pemberian obat secara polifarmasi lebih banyak ruginya daripada untungnya
bagi pasien…… harga lebih mahal…belum tentu perlu semua obat2annya….mubazir.
Yang tidak kalah syeremnya….kemungkinan timbulnya interaksi obat semakin besar…sehingga kemungkinan timbulnya efek toksik dan efek samping serta penyakit karena obat semakin meningkat/nggilani. mohon maaf kl kurang membantu, salam, ba….
saya coba urun rembug versi buruh pabrik dan pengalaman saya ngasuh anak.

Pak…kalau anak-anak sakit kira2 butuh obatnya apa saja? Paling bater
Paracetamol…. ada sirupnya kok. Apalagi…diare….ada oralit; Butuh antibotik…ada tuh syrup amoksisilin gimana yg ndak ada syrupnya? Misalnya … antihistamin..buat alergi. alergi kan umumnya cukup cegah pemicunya..jarang butuh antihistamin.
apalagi…steroid…..jaraanggg sekali ini pak. kl di indon iya batpil hajar pakai ginian… alhamdulillah anak saya cukup minum air putih hangat dan cukup makan.

Bagaimana dgn keadaan di puskesmas yg juga masih menggerus puyer ???
masih banyak juga pasien batpil di puskesmas dikasih racikan puyer (termasuk
jaman dulu saat si sulung kena batpil dan saya masih oon dgn RUD). Moga
kedepannya bisa lebih baik lagi
Thks/ Mamanya F…

masukan please… Habis ke DSA…dapet resep kayak antrian bus-way abis
jam kantor :(
- Zitromax (ga ketemu di medicastore?)–> AB, kata DSA karna infeksi
- Puyer : Spiropen, homoclomin, kenacort, ambril, HCL codein –> katanya untuk batuk pilek, tp indikasi obatnya kok untuk penyakit yg cukup gawat ya??
- Dumin–> obat panas
Kecewa berat ama DSA nya… terburu2 (banyak pasien). Jadi masuk ruang
periksa, periksa pake stetoskop, tulis resep.. selesai d acaranya… (ngukur
panas juga kaga tuh…) Kemudian, ke kasir bayar, di apotik, pas saya
nanya famasisnya (kebetulan lagi keluar dari tempat persembunyian..hehehe..)
eh, malah nanya: “Ibu mau beli obat nya di sini apa tempat laen?”….

Oh ya, Ruam yg keluar di bag dada, perut, ketiak, punggung, n sedikit
di selangkang itu Roseola ya? Kata DSA, karna minyak.. Sori ya, rada curhat.
Salam, Ri…

GOOD MANUFACTURING PRACTICES
Industri farmasi harus memenuhi stau standar untuk memperoleh ijin produksi
dan mereka yang telah memperoleh ijin untuk memproduksi obat, harus mematuhi
standar Quakity Assurance.

The quality of pharmaceuticals has been a concern of the World Health Organization
(WHO) since its inception. The setting of global standards is requested in Article
2 of the WHO Constitution, which cites as one of the Organizations functions
that it should develop, establish and promote international standards with respect
to food, biological, pharmaceutical and similar products.”
Every government allocates a substantial proportion of its total health budget
to medicines. This proportion tends to be greatest in developing countries,
where it may exceed 40%. Without assurance that these medicines are relevant
to priority health needs and that they meet acceptable standards of quality,
safety and efficacy, any health service is evidently compromised. In developing
countries considerable administrative and technical effort is directed to ensuring
that patients receive effective medicines of good quality. It is crucial to
the objective of health for all that a reliable system of medicines control
be brought within the reach of every country.
Both for manufacturers and at national level, GMP are an important part of a
comprehensive system of quality assurance. They also represent the technical
standard upon which is based the WHO Certification Scheme on the Quality of
Pharmaceutical Products Moving in International Commerce.
Good manufacturing practice is that part of quality assurance which ensures
that products are consistently produced and controlled to the quality standards
appropriate to their intended use and as required by the marketing authorization.
GMP are aimed primarily at diminishing the risks inherent in any pharmaceutical
production. Such risks are essentially of two types: cross contamination (in
particular of unexpected contaminants) and mix-ups (confusion) caused by, for
example, false labels being put on containers. Under GMP:

a. all manufacturing processes are clearly defined, systematically reviewed
in the light of experience, and shown to be capable of consistently manufacturing
pharmaceutical products of the required quality that comply with their specifications
b. qualification and validation are performed;
c. all necessary resources are provided, including:

(i) appropriately qualified and trained personnel;
(ii) adequate premises and space;
(iii) suitable equipment and services;
(iv) appropriate materials, containers and labels;
(v) approved procedures and instructions;
(vi) suitable storage and transport;
(vii) adequate personnel, laboratories and equipment for in-process controls;

d. instructions and procedures are written in clear and unambiguous language,
specifically applicable to the facilities provided;
e. operators are trained to carry out procedures correctly;
f. records are made (manually and/or by recording instruments) during manufacture
to show that all the steps required by the defined procedures and instructions
have in fact been taken and that the quantity and quality of the product are
as expected; any significant deviations are fully recorded and investigated;

g. records covering manufacture and distribution, which enable the complete
history of a batch to be traced, are retained in a comprehensible and accessible
form;
h. the proper storage and distribution of the products minimizes any risk to
their quality;
i. a system is available to recall any batch of product from sale or supply;
j. complaints about marketed products are examined, the causes of quality defects
investigated, and appropriate measures taken in respect of the defective products
to prevent recurrence.
Singkatnya, urusan membuat obat merupakan rantai panjang nan rumit. Banyak persyaratan
yang HARUS dipenuhi. Misalnya, untuk premise, ada 36 persyaratan. Salah satunya
saya kutip di bawah. Apakah penggerusan obat kembali” menjadi bubuk tidak
melanggar konsep GMP? Bagaimana dengan kualitas (dan stabilitas) obat yang digerus
apalagi ketika penggerusanya bersama-sama dengan berbagai obat lainnya? Apalagi
Indonesia sebagai negara tropis yang lembab, kita patut mempertanyakan stabilitas
obat apalagi yang dicampur dan digerus bersama menjadi puyer.
12.3 Where dust is generated (e.g. during sampling, weighing,
mixing and processing operations, packaging of powder), measures should
be taken to avoid cross-contamination and facilitate cleaning.


PENUTUP

Apakah kita bisa dan mau membuka hati meninjau kembali praktek peresepan kita
termasuk peresepan puyer yang nampaknya suda menjadi suatu comfort zone” buat kita semua? Apakah kita bisa jujur menilai diri kita sendiri, seberapa jauh kita sudah menjalankan tugas sesuai evidence dan panduannya? Mari kita bergandengan tangan …..PRIMUM NON NO CERE” … Above all do not harm.
Semoga kita bisa bersama-sama men translate” EBM ke kehidupan & praktek
sehari-hari dan tidak berkubang dalam atmosfer lost in translation”.

Daftar Pustaka:

1. World Health Organization. The Role of Education in the Rational Use of
Obat-obatan. South-East Asia Regional Office Publication Series, No. 45, 2006:
ix.
2. Arustiyono. Promoting Rational Use Of Drugs at the Community Health Centers
in Indonesia. Department of International Health School of Public Health Boston
University September 1999.
3. Bjerrum L. Pharmacoepidemiological Studies of Polypharmacy: Methodological
issues, population estimates, and influence of practice patterns. PhD Thesis,
Research Unit of General Practice and Department of Clinical Pharmacology The
Faculty of Health Sciences Odense University Denmark 1998.
4. Aman GM. Masalah Pemberian Polifarmasi.
5. Dwiprahasto I. Improving the Quality of Prescribing at Primary Health Centres
through a Training Intervention for Doctors and Paramedics. Jurnal Manajemen
Pelayanan Kesehatan, 2006: 94-101.
6. Widyastuti S, Dwiprahasto I, Andajaningsih, Bakri Z. The impact of problem-based
rational drug use training on prescribing practices, cost reallocations and
savings in primary care facilities. International
Conferences on Improving Use of Obat-obatan (ICIUM). World Health Organization
Essential Obat-obatan and Policy Department (EDM).
7. Quick J D, Foreman P, Ross-Degnan D. Where Does the Tetracycline Go? Health
Center Prescribing and Child Survival in East Java and West Kalimantan, Indonesia,
Jakarta: Management Sciences for Health, 1988.
8. MOH Republic of Indonesia. Integrated Analysis of Focused Problem Assessments
on Drug Management and Use and Design Interventions, Washington, DC: International
Science and Technology Institute Inc, 1990.
9. MOH Republic of Indonesia. Final Report on Pre-Post Controlled Trial of Drug
Use, Jakarta, 1994
10. Ross-Degnan D, Laing RO, Quick JD, Santoso B, Bimo, Chowdlury AK, Ofori-Adjei
D, et al. Field tests for rational drug use in twelve developing countries,
The Lancet 1993; 342:1408-1410
11. Department of Child and Adolescent Health and Development. The Treatment
of Diarrhoea. A Manual for Physicians and Lain-lain Senior Health Workers. World
Health Organization. 2005.
12. Makalah workshop Promoting Rational Use of Drugs in the Community (PRUDC),
WHO SEARO, Jaipur, India, January 2005.
13. WHO. Quality assurance of pharmaceuticals. A compendium of guidelines and
related materials Volume 2, 2nd updated edition. Good manufacturing practices
and inspection, 2007. www.who.int/topics/pharmaceutical_products/en
THE GREAT PHYSICIAN. We physicians all have heroes during
our training. We all remember the great physicians. I contend that the great
physicians differ from the good physicians because they understand the entire
story. Only when we understand the complete story do we make consistent
diagnoses.
Each patient represents a story. That story includes their diseases, their
new problem, their social situation, and their beliefs.
How do we understand the story? We must develop excellent communication
skills and gather the history in appropriate depth. We must perform a targeted
physical examination based on the historical clues. We must order the correct
diagnostic tests, and interpret them in the context of the history and physical
exam. Once we collect the appropriate data, we then should construct that
patient’s story.
The story includes making the correct diagnosis or diagnoses. The story
must describe the patient’s context. Who is this patient? What are the patient’s
goals? How might the patient’s personal situation impact our treatment options?
Sir William Osler said, “The good physician treats the disease; the
great physician treats the patient who has the disease.” The great
physician understands the patient and the context of that patient’s illness.
Be a great physician. Understand the full story. Make correct diagnoses.
Consult the patient in designing the treatment plans that best fit that
patient.
Follow the results with consistency and compassion. By so doing, you will
not only be providing the highest quality medical care; you will also be
living up to the ideals of William Osler and those of Tinsley Randolph Harrison
– the greatest of physician role models. That’s my opinion. I’m Dr. Robert
Centor, Professor of Medicine at the University of Alabama, Birmingham.

dari ; http://purnamawati.wordpress.com/2008/06/02/rational-use-of-medicine-rum/

Salam Dulu baru baca ^_^

Salam Dulu baru baca ^_^

Ma'an Najah

Ma'an Najah

Jazakallah khairan katsiran

Jazakallah khairan katsiran